(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
7 Ramadhan 1433 H
Film ini punya hampir semua
syarat untuk menjadi film papan atas: Penampilan para aktor yang prima, jalan
cerita yang sukar ditebak hingga akhir, efek pertempuran yang canggih, kostum
istimewa, hingga latar istana dan pegunungan yang menawan. Meski demikian, Curse of The Golden Flower yang digarap
oleh Zhang Yimou ini punya sedikit kelemahan yang bisa jadi krusial: Penggarapan
musik. Musik yang ditata oleh Shigeru Umebayashi kurang bisa menopang pelbagai
adegan yang dramatik dan mempesona.
Film ini berkisah tentang intrik
di keluarga kerajaan antara kaisar (Chow Yun Fat), permaisuri (Gong Li), dan
ketiga anaknya yaitu pangeran Wan (Liu Ye), pangeran Jai (Jay Chou) dan
pangeran Yu (Qin Junjie). Kaisar dan permaisuri tidaklah akur. Di satu sisi,
kaisar berusaha meracuni permaisuri lewat racun yang disusupkan pada obat yang
rutin diminum permaisuri. Di sisi lain, permaisuri pun berupaya untuk mengudeta
kaisar lewat sang anak kedua, pangeran Jai. Intrik ini meluas keluar wilayah
keluarga ini setelah mengetahui bahwa ada affair
antara pangeran Wan dengan anak dari dokter kerajaan yakni Jiang Chan (Li Man).
Problem ini semakin kompleks setelah diketahui ada pertautan romantika antara
ibu dari Jiang Chan, dengan sang kaisar di masa lalunya.
Film ini meski didominasi oleh
dialog dan tidak banyak adegan kungfu yang khas muncul di film-film Cina, namun
kita bisa dibuat duduk bertahan dari awal hingga akhir. Hal tersebut tidak
lepas dari kekuatan akting Chow Yun Fat dan Gong Li. Disamping itu, warna-warni
yang dibentangkan oleh film juga membuat mata dimanjakan (ini terjadi sedari
pembuka film ketika ratusan dayang kerajaan bersalin pakaian). Adegan kolosal
berupa perang besar antara tentara kaisar versus tentara permaisuri di
menjelang akhir film juga –meski tidak seberapa dramatis tapi tetap- memberikan
kesan tersendiri. Jangan lupa, yang menjadi kekuatan Curse of The Golden Flower tentu saja kenyataan bahwa di balik citra
kerajaan yang tenang dan tanpa konflik, terdapat intrik yang begitu mendidih
dan siap meletus di waktu yang tepat. Jika bicara jalan cerita, film berdurasi
114 menit ini memang jempolan. Tapi jika yang diniatkan sutradara adalah
ke-kolosal-an, maka Curse of The Golden
Flower ini menyajikannya terlalu banyak. Ibarat martabak manis yang terlalu
melimpah susu dan kejunya.
Rekomendasi : Bintang Tiga Setengah
Comments
Post a Comment