Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

30hari30film: The Boat That Rocked (2009)


9 Ramadhan 1433 H


Meski tidak sukses secara komersil, film The Boat That Rocked punya penggemarnya sendiri terutama di kalangan penggemar musik tahun 60-an –yang terkenal dengan generasi bunga-. Film yang disutradarai Richard Curtis ini mendapat kritikan karena durasinya yang terlalu panjang (135 menit). The Boat That Rocked diputar ulang di Amerika Serikat dengan perubahan judul menjadi Pirate Radio dan pemotongan durasi menjadi 112 menit.

Film ini berkisah tentang kehidupan penyiaran radio yang “ilegal”. Ilegal karena frekuensi Radio Rock tidak terdaftar dan diakui oleh pemerintahan Inggris. Meski demikian, radio yang disiarkan dari kapal di tengah North Sea ini digemari oleh mayoritas kaum muda di Inggris karena memutar lagu-lagu pop dan rock yang tengah tren. Di pembukaan film sudah disajikan titik permasalahannya mengapa Radio Rock mesti ada, karena: Radio pemerintah hanya memutar musik pop 45 menit dalam sehari!

Film ini cukup dominan dalam mengontraskan kehidupan awak Radio Rock yang penuh kegembiraan di atas kapal dilatari musik-musik psikedelik, dengan kehidupan jajaran pemerintah Inggris yang membosankan dan penuh protokol. Konflik terjadi karena PM Inggris Sir Alistair Dormandy (Kenneth Branagh) tidak suka dengan keberadaan mereka yang dicapnya sebagai, “Perusak generasi muda.” Meski pada waktu itu tidak melanggar hukum, namun Sir Alistair bersama dengan bawahannya, Twatt (Jack Davenport) tetap mengupayakan bagaimana caranya agar hukum bisa disesuaikan sehingga Radio Rock masuk kategori pelanggaran.

Seisi awak Radio Rock sendiri tidak ambil pusing dengan ketar ketir pemerintah. Mereka tetap bersiaran 24 jam dengan para DJ yang begitu dicintai pendengarnya. Mereka adalah The Count (Philip Seymour Hoffmann), Dave (Nick Frost), Mark (Tom Wisdom), Simon Swafford (Chris O’Dowd), Angus “The Nut” Nutsford (Rhys Darby), John Mayford (Will Adamsdale), dan yang paling legendaris, Gavin Kavanagh (Rhys Ifans). Kehidupan mereka begitu dinamis dan kekeluargaan. Konflik-konflik kadang terjadi misalnya Gavin Kavanagh yang terlalu karismatik sehingga bisa merebut istri dari Simon yang baru dinikahinya tujuh belas jam. Namun apa yang dialami oleh para kru Radio Rock setidaknya mengartikulasikan semangat rock pada masa itu: Asyik, santai, bergairah, cinta damai, dan penuh kebersamaan.

Film ini agaknya bisa menjadi sangat menarik tapi juga bisa tidak. Menarik adalah bagi mereka yang memahami sekaligus mencintai musik-musik psikedelik di era 60-an. Namun bagi yang tidak, film ini rasanya tidak punya suatu muatan spesial di dalamnya. Meski pesan terpentingnya bukanlah sebatas musik, melainkan suatu gerakan di luar sistem yang seringkali diperlukan untuk membongkar kemapanan. Buktinya? Setelah Radio Rock bubar, dalam narasi disebutkan: Pop dan rock diputar di radio Inggris 24 jam per hari.

Rekomendasi : Bintang Tiga

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...