(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Tahun ini adalah tahun genap. Artinya, pasti berlangsung gelaran akbar sepakbola entah itu Piala Dunia atau Piala Eropa. Kebetulan 2012 ini adalah tahunnya Piala Eropa yang akan digelar di Polandia dan Ukraina Juni nanti. Gelaran akbar yang menghadirkan pertandingan antar negara tersebut selalu saja dinanti sekaligus juga didramatisasi. Mari kita bandingkan dengan gelaran liga yang nyaris setiap minggunya kita konsumsi: Sebetulnya, mana yang lebih bergizi?
Katanya, menonton pertandingan tim nasional adalah lebih asyik, karena isinya adalah kombinasi bintang-bintang lokal yang tampil keren. Bayangkan posisi kiper Barcelona yang relatif lemah, kemudian bisa dikombinasikan dengan kiper Real Madrid, Casillas, sehingga saling menambal. Yang demikian hanya bisa terjadi di tim nasional, ketika Real Madrid dan Barcelona bisa dipersatukan oleh orang-orang dengan kewarganegaraan yang sama. Pun bayangkan ketika City, United, Arsenal, Chelsea, Tottenham, dan Liverpool dengan segala dinamika rivalitasnya di Premier League, tiba-tiba mereka bersatu di Piala Eropa membela panji Three Lions.
Namun coba nikmati secara objektif penampilan klub-klub di liga, bagaimana mereka berjibaku dengan program latihan, putar otak di bursa transfer, konsistensi mental dan fisik di pertandingan yang seringkali dua kali seminggu, mana sebetulnya yang bisa kita sebut sebagai kemenangan sejati di akhir cerita? Tim nasional biasanya cuma punya persiapan dua minggu sebelum even dimulai. Sang pelatih meramu taktik dengan adaptasi yang kelewat buru-buru. Bahkan pelatih Spanyol seperti Vicente del Bosque diuntungkan dengan sebagian besar pemainnya yang berasal dari Barcelona, sehingga tinggal meneruskan strategi tiki-taka saja.
Artinya, penampilan timnas tidak sama dengan kombinasi bintang-bintang dan kemudian sama dengan keutuhan permainan. Justru tidak jarang di timnas kita saksikan banyak permainan yang menjadi kurang kompak dan turun nilai estetiknya. Perhatikan saja penampilan Lionel Messi di Argentina. Meskipun ia tampil dengan bintang-bintang seperti Aguero, Tevez, dan Higuain, ia seperti tersesat karena kehilangan teman main masa kecilnya yakni Iniesta, Xavi, ataupun Puyol. Banyak juga pemain-pemain yang di klub begitu gemilang namun menjadi kehilangan taji di tim nasional seperti Cristiano Ronaldo ataupun Wayne Rooney.
Saya menjadi agak curiga, bahwa kegemaran orang akan Piala Dunia dan Piala Eropa sebenarnya adalah soal patriotisme. Ada gengsi antar negara di sana. Namun kita juga sekaligus tahu, seiring dengan Era Romantik yang sudah semakin jauh menjadi sejarah di belakang, isu patriotisme menjadi dipertanyakan. Apa itu negara? Masih berhargakah negara untuk dibela? Tidakkah dunia hari ini justru memungkinkan orang untuk melampaui batas-batas negara?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu justru dengan sangat baik sudah dijawab oleh klub-klub dan liga tempat mereka bernaung. Isi pemainnya sudah melebur, tidak seketat dulu dalam mempertimbangkan paspor. Arsene Wenger adalah contoh betapa ia tidak peduli dengan warganegara selama pemain itu bagus mengapa tidak? Gaya Wenger tersebut sudah semakin jamak ditemukan dan barangkali hanya beberapa klub saja yang masih mempertahankan asal-usul misalnya Athletic Bilbao. Wenger bahkan orang yang termasuk berang jika pemainnya "dipinjam" timnas lalu pulang dalam kondisi cedera. Ia merasa tidak adil, karena timnas meminjam pemain yang sudah susah payah dibesarkannya.
Namun maksud saya menuliskan semua ini bukan dalam rangka mengajak pemirsa untuk tidak bergairah pada Piala Dunia dan Piala Eropa. Sepakbola rasa-rasanya tidak bisa dianalisa sesederhana itu karena saya percaya bahwa sepakbola mengandung magi, mengandung sihir yang sulit ditangkal! Saya cuma menyadarkan adanya zeitgeist (semangat jaman) yang justru semakin bersesuaian dengan gairah klub-klub di liga-liga. Dunia hari ini mengajarkan kita tentang semakin tidak pentingnya batas-batas teritori. Namun dengan demikian, justru yang dinilai adalah murni kemampuan objektif si pemain. Tidak penting dia pemain Afrika atau Asia, selama punya andil dalam memperkuat tim. Meskipun ekses negatifnya, yang menjadi kuasa berikutnya adalah uang.
Selain itu, saya juga memberikan ucapan selamat agak sinis bagi tim nasional yang berlaga di Piala Dunia maupun Eropa. Tidakkah mereka berisikan pemain-pemain yang sudah kelelahan menjalani lebih dari empat puluh pertandingan di liga? Tidakkah mereka berisikan pemain-pemain yang mengabdi pada sesuatu yang riil semisal uang, ketimbang ideologi abstrak yang tidak laku lagi bernama negara? Sekali lagi, kesinisan tersebut tidak menghilangkan penilaian positif saya akan Piala Dunia dan Eropa. Konsep negara kadang perlu untuk mempersatukan, membuat kawanan manusia secara imajiner merasakan perasaan satu dengan yang lainnya.
Comments
Post a Comment