(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Waktu SMA dulu, kami punya guru pelajaran PPKn namanya Pak Sukanda. Di kelas, ia mengajar dengan metode yang bagi kami saat itu terbilang tidak lazim. Ia mendominasi jam pelajarannya dengan bercerita dan bercerita. Seringkali apa yang diceritakan tidak ada relevansinya sama sekali dengan bab yang ada di buku. Saya tidak banyak ingat apa yang Pak Sukanda pernah bicarakan kala itu, pasti disebabkan oleh tingkat pemahaman yang belum sampai. Namun ada satu hal yang tidak pernah saya lupakan hingga hari ini, yaitu kebiasaan beliau memberikan nilai ulangan bagus secara mudah!
Mudah disini bukan karena soal-soalnya yang mudah. Tapi karena ada satu persyaratan ganjil yang terlampau mudah untuk dilaksanakan: Barangsiapa yang bisa menuliskan nama dirinya di kolom nama, ia langsung mendapat nilai tujuh puluh. Apa yang bisa keliru dengan itu? Semua murid pastilah bisa menulis nama diri, bahkan dalam keadaan sakit panas sekalipun. Kemudahan semacam itu tentu saja membuat reaksi terhadap Pak Sukanda menjadi beragam, ada yang senang, ada yang juga jadi menggampangkan. Katanya, asal tulis nama, maka mengerjakan asal-asalan pun tidak apa-apa.
Belakangan saya mencoba mengingat-ingat alasan mengapa Pak Sukanda mau bermurah hati seperti itu. Yang saya ingat cuma kata identitas, identitas. Semacam betapa pentingnya kenal identitas diri, ingat nama sendiri. Sedemikian penting sehingga identitas itu menjadi lebih dari separuh nilai ulangan. Seakan lebih esensial dari soal-soalnya. Saya bergidik ketika samar-samar mulai paham: Masa SMA itu adalah sekitar sembilan atau sepuluh tahun yang lalu, sekarang ini apakah saya masih yakin dengan identitas diri?
Identitas diri adalah ilusi, ia rasa-rasanya berasal dari lingkungan dan kekuasaan. Nama adalah pemberian, memang kita bisa memilihnya di waktu dewasa, tapi pertanyaan berikutnya, tidakkah nama itu menjadi absah ketika mendapat pengakuan? Mendapat panggilan dari yang lain? Pun status sosial, jabatan, gelar, KTP, SIM, dan lain-lain itu bukanlah pilihan-pilihan sadar kita. Identitas diri tersebut diberikan lingkungan bagi kita, membentuk ilusi besar yang kita rasakan sebagai "diri kita yang sejati dan utuh".
Menurut Rocky Gerung, ia pesimis bahwa ada yang dinamakan identitas diri. "Identitas diri yang final," katanya, "Hanya ada pada orang mati." Dengan demikian selama manusia hidup, ia terus menerus mengalami perubahan identitas. Bahkan dalam diri kita pun sadar betul bahwa apa yang dinamakan "diri" kita hari ini begitu berbeda dengan hari-hari belakangan. Lama kelamaan bahkan kita bisa membelah identitas diri kita tergantung untuk keperluan apa.
Pada titik inilah sungguh saya memahami Pak Sukanda dengan haru. Rupanya dari segala identitas yang berubah-ubah dan tidak stabil itu, ada satu yang paling keras dan fundamental, yaitu nama. Nama merupakan pembeda pertama, seperti kata Saussure. Nama Syarif menjadikan saya adalah bukan Budi, Anto, dan Arief. Nama Syarif Maulana menjadikan saya adalah bukan Syarif Hidayatullah ataupun Elsa Syarif. Ketika diri menyadari mula-mula bahwa nama membedakan saya dengan yang lain, maka itu adalah titik berangkat menuju identitas-identitas yang lain. Bukankah dalam gelar, SIM, KTP, dsb juga terkandung nama? Dan tujuannya pun sama, agar berbeda satu sama lain. Karena dalam keberbadaan terkandung juga data-data yang berbeda.
Meskipun ilusif, tapi perlu diakui bahwa identifikasi diri adalah berangkat dari kenyataan bahwa kita unik dan berbeda dari yang lain. Keberbedaan itu baru niscaya ketika kita mengetahui nama-nama. Dengan tahu nama, kita jadi tahu apa-apa saja yang melekat pada nama tersebut. Ini sudah diingatkan, dari jauh hari, oleh Pak Sukanda. Beliau seolah mau mengatakan: Sebingung apapun kalian, anak-anakku, pada identitas diri, segera ingatlah nama, dari sana kamu akan mendapati siapa kamu.
Comments
Post a Comment