(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Saya merasa bahwa May Day ini
momen yang tepat untuk memaparkan sekaligus memaknai kejadian aneh yang saya
alami tanggal 27 Januari lalu. Tanpa firasat apa pun, saya berangkat ke Jakarta untuk menghadiri
technical meeting pra-nikah. Pergi jam tujuh dengan harapan jam sepuluh bisa
rendezvous di kawasan Pancoran. Masuk pukul sembilan, tibalah momen itu, ketika
mobil-mobil berhenti total di jalan tol. Saya melihat papan kilometer di pembatas jalan, tertulis KM 31. Tanda
tersebut setidaknya menunjukkan posisi saya yang masih jauh dari pintu tol,
sehingga keberhentian ini pastilah
disebabkan oleh sesuatu yang kurang lazim.
Yang menghambat saya, dan kami, mobil-mobil lainnya, adalah demonstrasi
buruh. Demo ini termasuk spektakuler karena para buruh melakukan blokade besar
di jalan tol Cipularang yang barangkali termasuk paling vital dalam urusan
transportasi. Saya kira-kira hanya berjarak sepuluh mobil dari blokade.
Artinya, lebih cepat lima atau sepuluh detik saja, mungkin saya akan sukses
melampaui. Berikutnya adalah momen menanti dan menanti kapan blokade
proletariat ini dibuka. Saya memanfaatkan waktu tunggu tersebut untuk mendekat,
melihat seperti apa buruh menyuarakan tuntutannya. Total sepuluh jam lamanya
kami tersandera.
Sepuluh jam itu, meski cukup melelahkan dan tidak dapat dipungkiri,
menimbulkan rasa lapar yang sangat, saya memperoleh banyak pengalaman. Selain
demo buruh, saya juga menyaksikan Muhaimin, menteri tenaga kerja, diturunkan
via helikopter di tengah jalan tol! Saya juga menyaksikan polwan cantik dari
sebuah stasiun televisi yang sengaja meliput, plus solat Jumat berjamaah dari
para buruh yang persis menjadikan jalan tol sebagai tempat sujudnya.
Ini menjadikan juga semacam renungan. Bukan tidak mungkin, dan bahkan
hampir dapat dipastikan, pemikiran-pemikiran Marx mempunyai andil dalam
memberikan kesadaran bagi para buruh untuk melawan ketika ditindas para pemilik
modal. Bahkan gara-gara Marx lah, filsafat menemukan wilayah praksisnya, yaitu
untuk merubah, memberi perlawanan, memberikan fundamen bagi perjuangan kelas.
Marx, bagaimanapun, menjadi pemikir pertama yang mencurahkan pikirannya untuk
melegitimasi kekuatan kaum buruh, disertai metode sangat mendetail bagaimana
caranya buruh bisa keluar dari kesulitan bahkan menguasai balik dan memerintah.
Lebih jauh, Marx mengatakan bahwa ketika proletariat dimanapun sudah berkuasa,
maka negara-negara tidak diperlukan lagi. Boleh dihapuskan.
Tulisan ini bukan hendak memaparkan pemikiran Marx. Namun justru mau
mempertanyakan sejauh mana pemikiran Marx masih relevan. Karena kondisi dunia
hari ini sudah sedemikian mengalami perubahan jauh dibanding ketika Marx dulu
hidup ratusan tahun lalu. Memang kemudian ada pemikir-pemikir pembaharu Marx
(Neo-Marxis) yang menyadari bahwa sangat penting untuk menyesuaikan kembali
pemikiran Marx dengan situasi yang lebih kontemporer. Namun agaknya saya juga
tidak tertarik untuk membahas Neo-Marxis disini, saya cuma berupaya melakukan
refleksi dari pengalaman pribadi kemarin:
- Kapitalisme sukses memecah buruh menjadi beragam dan berjarak satu sama lainnya. Misalnya, ada middle management yang kebingungan berada di tengah-tengah: Ia berada diantara bos dan anak buah. Ini menyulitkan posisinya dan juga menghambat para buruh untuk bersatu. Middle management pada hakikatnya juga buruh karena mereka bukan pemilik modal. Tapi kita sama-sama bisa membayangkan bahwa ia tidak akan sanggup berada di jalan tol bersama lautan massa karena ia sendiri tidak punya semacam kekecewaan yang sama pada para kapitalis. Hal semacam ini agaknya kurang diantisipasi Marx karena ia hanya menyatakan borjuis dan proletar adalah dua arus besar pertentangan kelas sepanjang sejarah. Ia lupa bahwa masyarakat hari ini punya lebih banyak diantaranya: Bukan borjuis, bukan proletar.
- Kapitalisme sukses mematahkan nilai-nilai heroisme perjuangan kaum proletar. Melihatnya semata-mata sebagai kerusuhan alih-alih pengubah nilai-nilai fundamental. Ini pengaruh media, tentu saja, yang barangkali di era Marx belum sedemikian canggih. Media ini membentuk mindset khas kelas menengah: “Daripada demo mending kita lakukan aja yang kita bisa.” Biasanya media memberi kesan lebih tebal pada pemblokiran jalan daripada menelusuri darimana sebab-musabab demonstrasi tersebut. Kawan saya, Pirhot, mengatakan bahwa kelas menengah kerapkali lupa bahwa mereka menikmati juga apa yang sudah proletar perjuangkan lewat demo-demonya.
- Agaknya menjadi miris, ketika pemimpin demonstrasi menyuarakan tuntutannya secara heroik, beberapa kelompok buruh malah berfoto-foto dengan polwan. Ini menunjukkan keterpecahan internal yang dimungkinkan oleh kurangnya intelegensia atau kurang tertanamnya dasar-dasar ideologis. Jika banyak buruh berdemonstrasi oleh sebab alasan ikut-ikutan, maka jangan heran distraksi semacam polwan tadi bisa memecah buruh dengan mudah saja.
- Agama menjadi salah satu sorotan Marx, disebutnya sebagai candu yang bisa melemahkan kesadaran manusia akan ketertindasan dirinya. Ini menjadi perlu dipertanyakan justru ketika agama menjadi vitalitas yang mempersatukan. Solat Jumat bersama di jalan tol menjadi tambahan tenaga dan perekat solidaritas diantara mereka. Di Indonesia, pada umumnya, agama justru menjadi suatu elemen yang menghilangkan sekat-sekat, dan sangat cocok dijadikan doping untuk melawan sesuatu.
Pernyataan-pernyataan tersebut tiada maksud untuk mengritisi Marx yang
pengaruh pemikirannya sudah sedemikian mengagumkan bagi dunia. Namun ketika
saya melihat secara langsung proses demonstrasi dari jarak yang cukup, saya
melihat beberapa lubang yang sepertinya mesti dijahit agar tidak tambah
menganga. Bagi saya pribadi, pemikiran Marx masih penting dan harus selalu
penting. Agar apa? Semata-mata agar kapitalisme duduk tidak nyaman di
singgasana kekuasaannya. Ia harus sering diingatkan untuk minum obat agar tidak
lupa siapa gerangan yang menjadikan dirinya kokoh di puncak sistem hari ini.
Selamat Hari Buruh Sedunia.
Comments
Post a Comment