(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Untuk sebuah acara pada 8 Januari lalu, saya diharuskan untuk menuliskan sesuatu yang berkaitan dengan etika di media. Apa yang saya lakukan adalah menonton RCTI tiga hari berturut-turut dan menganalisis apa-apa saja yang saya peroleh dari kegiatan tersebut. Dari hampir seluruh tayangan RCTI yang disaksikan, yang saya anggap paling menarik adalah hasil pengamatan atas tayangan-tayangan sinetron.
Sinetron barangkali merupakan tayangan yang paling dominan dalam program RCTI. Ketika saya melakukan penelitian tersebut di bulan Oktober, ada tiga sinetron berturut-turut tayang mulai jam 18.00 sampai 22.30 yaitu Dewa, Putri yang Ditukar, dan Anugerah. Saya mencoba mengamati tanpa rasa benci dan tanpa rasa ingin menghujat. Saya akui bahwa cukup banyak kawan-kawan yang menganggap sinetron itu sesuatu yang tidak penting, sampah, dan membodohi. Tapi saya juga harus menerima fakta bahwa tayangan tersebut laku dan dikonsumsi banyak orang. Maka itu saya berupaya mengerti: Mengapa sinetron laku meski dianggap sampah oleh sebagian kalangan?
Dalam film dokumenter How Art Made the World, ada upaya pelacakan tentang kapan pertama kali manusia menyadari bahwa sebuah gambar bisa dipakai untuk bercerita sesuatu. Pilar Trajan di Roma menjadi salah satu kajiannya. Di pilar setinggi tiga puluh meter itu, ada cerita tentang Kaisar Trajan yang menang dalam perang melawan kaum Dacia. Namun, kata sang narator, Dr. Nigel Speavey, tidak cukup gambar saja, harus disadari bahwa keberadaan musik sangat berpengaruh dalam menyedot apresiator ke dalam gambar. Maksudnya, pilar Trajan berkisah tentang sesuatu yang sangat epik dan menawan, namun belum cukup katanya bagi kita untuk larut ke dalamnya. Dr. Speavey kemudian menunjuk kaum Aborigin sebagai kaum yang kemungkinan besar pertama kali menggabungkan cerita dalam lukisan, dengan musik yang muncul dari ritual mereka. Musik menjadi pembeda signifikan tentang bagaimana kita bisa hanyut dalam citra visual.
Jika sinetron diperhatikan, maka saya memperoleh kesimpulan bahwa tidak ada adegan tanpa musik. Setiap dialog harus diiringi musik, perpindahan latar adalah selalu diiringi dengan perpindahan musik. Musik yang ditampilkan juga, meskipun monoton dan terkesan kurang kreatif (instrumen organ tunggal), namun tensinya cukup diperhatikan. Ada musik yang keras sekali dan lembut sekali, dan keduanya bisa disajikan tanpa jeda. Musik itulah yang dicurigai menarik minat penonton untuk terus menempel. Saya pernah beberapa kali lewat depan televisi ketika sinetron diputar, dan sering berhenti untuk menyimak sejenak karena terhenyak oleh musiknya.
Selain itu, dalam sinetron tidak ada hal yang tidak diperkatakan. Segala gerak gerik dan kejadian tidak cukup bagi dirinya sendiri, ia harus dijelaskan dalam kata-kata. Misalnya, saya pernah menonton Anugerah, ada adegan ketika seorang wanita (saya lupa namanya) gagal melaksanakan tugas meracun seseorang, maka ia mengumpat di kamar mandi soal mengapa ia bisa gagal. Biasanya, jika saya menonton film-film yang dibintangi aktor sekelas Al Pacino atau Robert de Niro, yang diperkatakan itu biasanya justru sesuatu yang di luar fenomena. Fenomena yang sudah jelas, semua penonton melihat, tidak perlu lagi diperkatakan. Dalam kasus film Anugerah, adegan kegagalan meracun itu sendiri bagi saya sudah gamblang dengan gerak-gerik seperti gelas berisi racun yang tertukar.
Konsekuensi dari dua hal di atas, yaitu tidak ada adegan tanpa musik dan tidak ada hal yang tidak diperkatakan adalah kenyataan bahwa yang dirangsang oleh sinetron adalah indra pendengaran. Ini menarik ketika stereotip kita mengatakan bahwa televisi melulu menitikberatkan aspek visual. Apa bukti sinetron merangsang pendengaran kita? Coba di suatu hari yang senggang, putar sinetron tanpa kita melihatnya (sambil mengerjakan apa saja, masak misalnya). Hampir bisa dipastikan kita akan paham ceritanya! Karena cara kerja sinetron adalah mirip sandiwara radio: Berganti musik ketika latar berganti, dan semua hal diperkatakan. Bahkan kita bisa membedakan mana warna suara ketika berbicara biasa, dengan pembicaraan intrapersonal (suara hati). Dalam sinetron, saya pernah melihat adegan ketika dua orang berjumpa, salah satunya menyebut nama, "Amira!" Seolah mau menunjukkan siapa yang saling jumpa itu.
Pertanyaan berikutnya: Jika dengan mendengar saja segala sesuatu sudah jelas, lantas untuk apa gambar-gambar tetap ditayangkan dalam sinetron? Ini pertanyaan yang cukup menghantui saya, sebelum akhirnya sadar satu hal ketika memperhatikan ketiga sinetron tersebut: ternyata ada yang sama yaitu stereotip. Dalam tayangan-tayangannya, citra laki-laki yang berambut pendek, putih, dan kurus selalu memegang peranan. Jika di luar ciri-ciri itu, maka kemungkinan antagonis atau bahan olok-olokan (jika prianya gemuk biasanya). Pun aktor wanita nya, saya mencatat macam Nikita Willy, Naysilla Mirdad, Dhini Aminarti, Cindy Fatikasari, dan Sheila Marcia, semuanya punya ciri-ciri fisik yang mirip yaitu berambut panjang, putih, dan kurus. Artinya, visual dalam sinetron tidak punya daya cerita yang terlalu kuat kecuali hanya untuk menampilkan stereotip-stereotip bagaimana "seharusnya" pria dan wanita itu.
Artinya, cara kerja sinetron bisa dibilang seperti ini: Mereka memanfaatkan musik yang terkandung di dalamnya efek untuk menggugah emosi, lalu memanfaatkan bahasa yang punya efek simbolik "mengingatkan kita pada sesuatu", dan sesuatu itu kerapkali visual. Misalnya kita mendengar kata "nasi goreng", memori kita reflek melacak pengindraan nasi goreng yang pernah mengisi pengalaman kita. Namun dalam kasus sinetron, daya visual-imajinatif kita tidak sempat menggali ke memori pengalaman, tapi langsung dipenjara oleh citra tampilan stereotip di hadapan. Itu sebabnya, "kejahatan" sinetron bisa dibilang karena mereka: Menutup ruang imajinasi, menutup ruang multiinterpretasi, dan menghadirkan kebenaran tunggal. Bisa dicoba dengan menyuruh seratus orang menonton sinetron yang sama episode yang sama, maka jika kemudian digelar diskusi, dijamin tidak ada konten film yang bisa didiskusikan secara mendalam karena adanya kesamaan persepsi!
Dalam sinetron, kemungkinan untuk seseorang menafsirkan adegan secara unik adalah kecil karena segalanya serba jelas. Beda dengan adegan dalam film Donnie Brasco misalnya, ketika Benjamin "Left" Ruggiero yang diperankan Al Pacino hendak pergi meninggalkan rumah. Sebelum pergi ia melepaskan kalung dan benda-benda berharga yang dipakainya lalu disimpan di laci. Sebuah adegan yang secara tersirat menunjukkan kemungkinan ia pergi untuk menemui kematiannya. Namun itu tafsir saya, bisa diperdebatkan dan didiskusikan. Kembali ke sinetron, kalimat sederhana yang bisa diambil dari kisah Donnie Brasco adalah: Sinetron digemari karena untuk memahaminya, tidak perlu berpikir!
Jadi mungkin saja, walaupun bisa diperdebatkan, ini adalah penyebab mengapa sinetron punya kemungkinan buruk bagi masyarakat, tapi sekaligus menjadi semacam candu. Jika ada yang tertarik dikirimi makalah lengkap penelitian ini, bisa kirim alamat emailnya ke syarafmaulini@gmail.com. Nanti saya kirimi balik, insya allah, sambil "mendengarkan" sinetron.
Sinetron barangkali merupakan tayangan yang paling dominan dalam program RCTI. Ketika saya melakukan penelitian tersebut di bulan Oktober, ada tiga sinetron berturut-turut tayang mulai jam 18.00 sampai 22.30 yaitu Dewa, Putri yang Ditukar, dan Anugerah. Saya mencoba mengamati tanpa rasa benci dan tanpa rasa ingin menghujat. Saya akui bahwa cukup banyak kawan-kawan yang menganggap sinetron itu sesuatu yang tidak penting, sampah, dan membodohi. Tapi saya juga harus menerima fakta bahwa tayangan tersebut laku dan dikonsumsi banyak orang. Maka itu saya berupaya mengerti: Mengapa sinetron laku meski dianggap sampah oleh sebagian kalangan?
Dalam film dokumenter How Art Made the World, ada upaya pelacakan tentang kapan pertama kali manusia menyadari bahwa sebuah gambar bisa dipakai untuk bercerita sesuatu. Pilar Trajan di Roma menjadi salah satu kajiannya. Di pilar setinggi tiga puluh meter itu, ada cerita tentang Kaisar Trajan yang menang dalam perang melawan kaum Dacia. Namun, kata sang narator, Dr. Nigel Speavey, tidak cukup gambar saja, harus disadari bahwa keberadaan musik sangat berpengaruh dalam menyedot apresiator ke dalam gambar. Maksudnya, pilar Trajan berkisah tentang sesuatu yang sangat epik dan menawan, namun belum cukup katanya bagi kita untuk larut ke dalamnya. Dr. Speavey kemudian menunjuk kaum Aborigin sebagai kaum yang kemungkinan besar pertama kali menggabungkan cerita dalam lukisan, dengan musik yang muncul dari ritual mereka. Musik menjadi pembeda signifikan tentang bagaimana kita bisa hanyut dalam citra visual.
Jika sinetron diperhatikan, maka saya memperoleh kesimpulan bahwa tidak ada adegan tanpa musik. Setiap dialog harus diiringi musik, perpindahan latar adalah selalu diiringi dengan perpindahan musik. Musik yang ditampilkan juga, meskipun monoton dan terkesan kurang kreatif (instrumen organ tunggal), namun tensinya cukup diperhatikan. Ada musik yang keras sekali dan lembut sekali, dan keduanya bisa disajikan tanpa jeda. Musik itulah yang dicurigai menarik minat penonton untuk terus menempel. Saya pernah beberapa kali lewat depan televisi ketika sinetron diputar, dan sering berhenti untuk menyimak sejenak karena terhenyak oleh musiknya.
Selain itu, dalam sinetron tidak ada hal yang tidak diperkatakan. Segala gerak gerik dan kejadian tidak cukup bagi dirinya sendiri, ia harus dijelaskan dalam kata-kata. Misalnya, saya pernah menonton Anugerah, ada adegan ketika seorang wanita (saya lupa namanya) gagal melaksanakan tugas meracun seseorang, maka ia mengumpat di kamar mandi soal mengapa ia bisa gagal. Biasanya, jika saya menonton film-film yang dibintangi aktor sekelas Al Pacino atau Robert de Niro, yang diperkatakan itu biasanya justru sesuatu yang di luar fenomena. Fenomena yang sudah jelas, semua penonton melihat, tidak perlu lagi diperkatakan. Dalam kasus film Anugerah, adegan kegagalan meracun itu sendiri bagi saya sudah gamblang dengan gerak-gerik seperti gelas berisi racun yang tertukar.
Konsekuensi dari dua hal di atas, yaitu tidak ada adegan tanpa musik dan tidak ada hal yang tidak diperkatakan adalah kenyataan bahwa yang dirangsang oleh sinetron adalah indra pendengaran. Ini menarik ketika stereotip kita mengatakan bahwa televisi melulu menitikberatkan aspek visual. Apa bukti sinetron merangsang pendengaran kita? Coba di suatu hari yang senggang, putar sinetron tanpa kita melihatnya (sambil mengerjakan apa saja, masak misalnya). Hampir bisa dipastikan kita akan paham ceritanya! Karena cara kerja sinetron adalah mirip sandiwara radio: Berganti musik ketika latar berganti, dan semua hal diperkatakan. Bahkan kita bisa membedakan mana warna suara ketika berbicara biasa, dengan pembicaraan intrapersonal (suara hati). Dalam sinetron, saya pernah melihat adegan ketika dua orang berjumpa, salah satunya menyebut nama, "Amira!" Seolah mau menunjukkan siapa yang saling jumpa itu.
Pertanyaan berikutnya: Jika dengan mendengar saja segala sesuatu sudah jelas, lantas untuk apa gambar-gambar tetap ditayangkan dalam sinetron? Ini pertanyaan yang cukup menghantui saya, sebelum akhirnya sadar satu hal ketika memperhatikan ketiga sinetron tersebut: ternyata ada yang sama yaitu stereotip. Dalam tayangan-tayangannya, citra laki-laki yang berambut pendek, putih, dan kurus selalu memegang peranan. Jika di luar ciri-ciri itu, maka kemungkinan antagonis atau bahan olok-olokan (jika prianya gemuk biasanya). Pun aktor wanita nya, saya mencatat macam Nikita Willy, Naysilla Mirdad, Dhini Aminarti, Cindy Fatikasari, dan Sheila Marcia, semuanya punya ciri-ciri fisik yang mirip yaitu berambut panjang, putih, dan kurus. Artinya, visual dalam sinetron tidak punya daya cerita yang terlalu kuat kecuali hanya untuk menampilkan stereotip-stereotip bagaimana "seharusnya" pria dan wanita itu.
Artinya, cara kerja sinetron bisa dibilang seperti ini: Mereka memanfaatkan musik yang terkandung di dalamnya efek untuk menggugah emosi, lalu memanfaatkan bahasa yang punya efek simbolik "mengingatkan kita pada sesuatu", dan sesuatu itu kerapkali visual. Misalnya kita mendengar kata "nasi goreng", memori kita reflek melacak pengindraan nasi goreng yang pernah mengisi pengalaman kita. Namun dalam kasus sinetron, daya visual-imajinatif kita tidak sempat menggali ke memori pengalaman, tapi langsung dipenjara oleh citra tampilan stereotip di hadapan. Itu sebabnya, "kejahatan" sinetron bisa dibilang karena mereka: Menutup ruang imajinasi, menutup ruang multiinterpretasi, dan menghadirkan kebenaran tunggal. Bisa dicoba dengan menyuruh seratus orang menonton sinetron yang sama episode yang sama, maka jika kemudian digelar diskusi, dijamin tidak ada konten film yang bisa didiskusikan secara mendalam karena adanya kesamaan persepsi!
Dalam sinetron, kemungkinan untuk seseorang menafsirkan adegan secara unik adalah kecil karena segalanya serba jelas. Beda dengan adegan dalam film Donnie Brasco misalnya, ketika Benjamin "Left" Ruggiero yang diperankan Al Pacino hendak pergi meninggalkan rumah. Sebelum pergi ia melepaskan kalung dan benda-benda berharga yang dipakainya lalu disimpan di laci. Sebuah adegan yang secara tersirat menunjukkan kemungkinan ia pergi untuk menemui kematiannya. Namun itu tafsir saya, bisa diperdebatkan dan didiskusikan. Kembali ke sinetron, kalimat sederhana yang bisa diambil dari kisah Donnie Brasco adalah: Sinetron digemari karena untuk memahaminya, tidak perlu berpikir!
Jadi mungkin saja, walaupun bisa diperdebatkan, ini adalah penyebab mengapa sinetron punya kemungkinan buruk bagi masyarakat, tapi sekaligus menjadi semacam candu. Jika ada yang tertarik dikirimi makalah lengkap penelitian ini, bisa kirim alamat emailnya ke syarafmaulini@gmail.com. Nanti saya kirimi balik, insya allah, sambil "mendengarkan" sinetron.
Nggak suka sinetron, soalnya bikin minder body :-p
ReplyDeleteTapi gara-gara tulisan ini, tar malam coba mendengarkan ah! Terima kasih sharingnya, kang... nggak pernah kepikir sebelumnyaaaah
pikiran saya langsung berinterteks ke lagunya Melancholic Bitch yang bilang: "Siapa yang membutuhkan imajinasi/jika kita sudah punya televisi".
ReplyDeleteMakasih kang, jadi tercerahkan :D
Mohon izin menampilkan tulisan ini di situs www.literasimedia.org
ReplyDeleteTerima kasih
@annafarida iya bu, coba, bisa dipahami gaaak hehehe sambil masak atau ngurus anak.
ReplyDelete@citra sama-sama yahhh. Tagline yang bagus tuh.
@Kanti Iya silakan, dengan senang hati.
mendalam banget,,, saya juga sering penasaran sama sinetron, karena dengar suara, percakapan yg begitu mendramatisir. tapi kalo sudah nonton, ya ampun,,, adegan dan kata apa yang akan diucapkan si aktor atau aktris-nya bisa sangat ditebak. saking monotonnya sinetron2, semakin sering nonton, semakin hapal.
ReplyDeletevalid!
ReplyDeletetivi di rumah saya kan gambarnya gak terlalu jelas.
Tapi ibu saya masih bisa menikmati sinetron...
@novi saja: hehe.. tapi faktanya, tetap membius, oleh karena musik yang tragis-dramatis.
ReplyDelete@ihsan: untuk bukan suaranya yang tidak jelas hehe.