(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Tulisan suplemen untuk Klab Filsafat Tobucil 6 Februari 2012.
Kita tahu bahwa jika makan di warung kopi, maka tidak cuma harus siap dengan menu hanya supermi, buburkacang, dan gorengan, tapi juga mesti diantisipasi kemungkinan ngobrol berlama-lama tentang isu-isu politik dan ekonomi ditemani kepulan asap rokok. Kita tahu bahwa jika makan di Warung Tegal, maka tidak cuma harus siap dengan lokasi yang kurang higienis, tapi juga mesti diantisipasi kemungkinan afirmasi diri yang jujur tentang ketiadaan uang. Karena seperti kata Diecky, "Cuma di Warung Tegal kita makan nasi sama tahu tetap dilayani bak raja."
Warung menurut Wikipedia diartikan sebagai "type of small family owned business. A warung is an essential part of daily life in indonesia." Warung menjual mulai dari pisang goreng, mie goreng, permen, kerupuk, rokok, kopi, hingga penyewaan jasa telepon. Hal-hal yang barangkali begitu dekat dengan kebutuhan sehari-hari dan harganya terjangkau masyarakat strata bawah sekalipun. Tentunya juga secara fisik ukurannya harus relatif kecil. Karena kita semua tidak menyebut Alfamart, Circle K, atau Indomaret sebagai warung meskipun menjual barang-barang harian. Dekat rumah saya pun syahdan ada warung namanya Warung Ibu Yana, tapi ketika dalam perkembangannya ia menjadi ekspansif, memakan lahan lebih, kami menamakannya: Toko Ibu Yana.
Kesadaran saya tentang warung dimulai pada suatu pagi sekitar setahun lalu ketika mencari-cari tempat yang asyik untuk mengerjakan tesis. Saya memilih sebuah kafe di Burangrang yaitu Ngopi Doeloe. Sebelum masuk ke kafe tersebut, ada pemandangan lucu tepat di depan pagar kafe itu. Ada warung kopi teronggok dengan nama yang sama: Ngopi Doeloe. Bedanya jelas jauh, yang satu besar yang satu kecil. Yang satu menunjukkan identitas via plang menjulang ditopang tiang, satu lagi hanya dicat saja di dinding kayunya. Tanpa harus membandingkan, common sense saya langsung tahu: harganya juga jelas beda berjauhan. Tapi satu hal yang saya tidak berani melakukan penilaian buru-buru adalah: Apakah "Ngopi Doeloe besar" rasa kopinya lebih enak dari "Ngopi Doeloe kecil"? Apakah "Ngopi Doeloe besar" pelayanannya lebih ramah dari "Ngopi Doeloe kecil"?
Kapitalisme menjawab itu semua. Bahwa memang yang besar belum tentu lebih enak dari yang kecil, memang yang besar belum tentu lebih ramah dari yang kecil, tapi satu hal yang pasti: Yang besar bergaya hidup lebih eksklusif, yang besar lebih menunjukkan kamu punya uang dan citarasa daripada yang kecil. Eksklusifisme itu, entah dibangun dari mana, bisa jadi dari tembok beton dan plang yang menjulang, atau memang harga yang sekalian dimahalkan. Saudara saya yang kerja di Starbucks mengatakan, "Tidak masuk akal kopi tubruk pakai mesin 40.000 per gelas." Ada fakta yang tak bisa diganggu gugat: Orang tetap minum seharga 40.000 meski rasanya sama dengan yang 2.000. Meski secara hitung-hitungan ekonomi jelas tidak masuk akal!
Tak hanya itu, kapitalisme juga mengadopsi "sari-sari" warung. Warung, karena ukurannya yang kecil, tidak bisa tidak penjual dan pembeli bertemu bertatap muka. Ada trust disana, ada pembacaan gestur menyeluruh, ada kegiatan yang sama sekali tidak mereduksi hubungan kemanusiaan, seperti kata Levinas, "Wajah adalah aku yang lain." Di "warung besar" hal seperti itu juga dilakukan. Para pelayan wajib ramah, menampilkan wajah yang sumringah, dan bersikap seolah-olah ini semua adalah warung keseharian, warung rakyat Indonesia yang bermodalkan kejujuran.
Dalam balutan keangkuhan kapitalisme, warung-warung besar menampilkan sisi "kiri" dan "proletariat"-nya justru lewat para pelayan. Padahal kita semua tahu, para pelayan restoran pastilah bisa ramah hingga terlihat alamiah karena di-training berbulan-bulan. Sedangkan pemilik warung bisa ramah karena memang ingin ramah, bisa juga kalau dia ingin judes. Bisa saja jika pemilik warung cantik dan dia digoda pria bujang, maka sang pemilik menampakkan muka jutek untuk menolak godaan. Tapi di warung besar itu mustahil, semerasa dilecehkan apapun pelayan perempuan, ia haruslah punya cara menampik yang tidak merugikan pasaran perusahaan. Keramahan macam ini jelas mengasyikkan bagi para konsumen yang tidak suka realita. Tapi sekaligus kita juga tahu bahwa keramahan para pelayan yang sedang dalam posisi proletariat, selalu atas nama perusahaan, bukan atas dasar hati nuraninya yang paling dalam.
Warung kecil, pada titik ini, punya martabat kemanusiaan yang adiluhung. Tidak ada suatu kepalsuan serius di dalam lingkup transaksinya. Bahkan banyak ibu-ibu warung makan yang tidak pernah mengecek apa saja yang konsumen makan, ia hanya bertanya langsung dan berharap kejujuran. Konsumen bohong bisa saja, tapi si ibu tak ambil pusing, ia pasti berpikir, "Kejujuran selalu menang. Yang dusta pasti ada balasannya." Hanya warung kecil yang punya kemungkinan seseorang dapat gratis rokok karena bisa memberikan suatu obrolan memikat di petang itu, yang punya kemungkinan dua manusia ribut oleh sebab problem tatapan mata yang nyalang antara keduanya, yang punya kemungkinan dihutangi dengan jaminan kepercayaan semata. Dalam warung kecil ada dinamika kehidupan yang mini, yang memang pada kenyataannya hidup sekompleks itu. Yang sungguh disederhanakan persoalannya di warung besar. Di warung besar kamu tinggal bayar maka segala-gala realitas kehidupan disembunyikan. Hidup itu manis ketika kamu bayar!
Harusnya kita sedikit berkaca pada proses kelahiran dua filsuf besar dalam sejarah pemikiran Barat, yaitu Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir. Mereka lahir bukan dari kepalsuan warung-warung kapitalistik, tapi di sebuah warung kecil bernama Café de Flore. Kafé, sebelum dimiskonsepsikan jadi sarang para borjuis, dulunya menjadi tempat para proletar bertukar pikir dan melahirkan ide-ide brilian. Harusnya, dengan harga makanan murah dan tampilan dunia apa adanya, sudah seyogianya warung kecil menjadi tempat orang membangun fondasi untuk merubah dunia. Di warung kapitalistik, orang tak bisa melihat dunia, orang tak bisa berpikir terlalu jauh. Mereka terhalang tembok yang terlalu tinggi, mereka sibuk memikirkan citra apa yang melekat.
Kita tahu bahwa jika makan di warung kopi, maka tidak cuma harus siap dengan menu hanya supermi, buburkacang, dan gorengan, tapi juga mesti diantisipasi kemungkinan ngobrol berlama-lama tentang isu-isu politik dan ekonomi ditemani kepulan asap rokok. Kita tahu bahwa jika makan di Warung Tegal, maka tidak cuma harus siap dengan lokasi yang kurang higienis, tapi juga mesti diantisipasi kemungkinan afirmasi diri yang jujur tentang ketiadaan uang. Karena seperti kata Diecky, "Cuma di Warung Tegal kita makan nasi sama tahu tetap dilayani bak raja."
Warung menurut Wikipedia diartikan sebagai "type of small family owned business. A warung is an essential part of daily life in indonesia." Warung menjual mulai dari pisang goreng, mie goreng, permen, kerupuk, rokok, kopi, hingga penyewaan jasa telepon. Hal-hal yang barangkali begitu dekat dengan kebutuhan sehari-hari dan harganya terjangkau masyarakat strata bawah sekalipun. Tentunya juga secara fisik ukurannya harus relatif kecil. Karena kita semua tidak menyebut Alfamart, Circle K, atau Indomaret sebagai warung meskipun menjual barang-barang harian. Dekat rumah saya pun syahdan ada warung namanya Warung Ibu Yana, tapi ketika dalam perkembangannya ia menjadi ekspansif, memakan lahan lebih, kami menamakannya: Toko Ibu Yana.
Kesadaran saya tentang warung dimulai pada suatu pagi sekitar setahun lalu ketika mencari-cari tempat yang asyik untuk mengerjakan tesis. Saya memilih sebuah kafe di Burangrang yaitu Ngopi Doeloe. Sebelum masuk ke kafe tersebut, ada pemandangan lucu tepat di depan pagar kafe itu. Ada warung kopi teronggok dengan nama yang sama: Ngopi Doeloe. Bedanya jelas jauh, yang satu besar yang satu kecil. Yang satu menunjukkan identitas via plang menjulang ditopang tiang, satu lagi hanya dicat saja di dinding kayunya. Tanpa harus membandingkan, common sense saya langsung tahu: harganya juga jelas beda berjauhan. Tapi satu hal yang saya tidak berani melakukan penilaian buru-buru adalah: Apakah "Ngopi Doeloe besar" rasa kopinya lebih enak dari "Ngopi Doeloe kecil"? Apakah "Ngopi Doeloe besar" pelayanannya lebih ramah dari "Ngopi Doeloe kecil"?
Kapitalisme menjawab itu semua. Bahwa memang yang besar belum tentu lebih enak dari yang kecil, memang yang besar belum tentu lebih ramah dari yang kecil, tapi satu hal yang pasti: Yang besar bergaya hidup lebih eksklusif, yang besar lebih menunjukkan kamu punya uang dan citarasa daripada yang kecil. Eksklusifisme itu, entah dibangun dari mana, bisa jadi dari tembok beton dan plang yang menjulang, atau memang harga yang sekalian dimahalkan. Saudara saya yang kerja di Starbucks mengatakan, "Tidak masuk akal kopi tubruk pakai mesin 40.000 per gelas." Ada fakta yang tak bisa diganggu gugat: Orang tetap minum seharga 40.000 meski rasanya sama dengan yang 2.000. Meski secara hitung-hitungan ekonomi jelas tidak masuk akal!
Tak hanya itu, kapitalisme juga mengadopsi "sari-sari" warung. Warung, karena ukurannya yang kecil, tidak bisa tidak penjual dan pembeli bertemu bertatap muka. Ada trust disana, ada pembacaan gestur menyeluruh, ada kegiatan yang sama sekali tidak mereduksi hubungan kemanusiaan, seperti kata Levinas, "Wajah adalah aku yang lain." Di "warung besar" hal seperti itu juga dilakukan. Para pelayan wajib ramah, menampilkan wajah yang sumringah, dan bersikap seolah-olah ini semua adalah warung keseharian, warung rakyat Indonesia yang bermodalkan kejujuran.
Dalam balutan keangkuhan kapitalisme, warung-warung besar menampilkan sisi "kiri" dan "proletariat"-nya justru lewat para pelayan. Padahal kita semua tahu, para pelayan restoran pastilah bisa ramah hingga terlihat alamiah karena di-training berbulan-bulan. Sedangkan pemilik warung bisa ramah karena memang ingin ramah, bisa juga kalau dia ingin judes. Bisa saja jika pemilik warung cantik dan dia digoda pria bujang, maka sang pemilik menampakkan muka jutek untuk menolak godaan. Tapi di warung besar itu mustahil, semerasa dilecehkan apapun pelayan perempuan, ia haruslah punya cara menampik yang tidak merugikan pasaran perusahaan. Keramahan macam ini jelas mengasyikkan bagi para konsumen yang tidak suka realita. Tapi sekaligus kita juga tahu bahwa keramahan para pelayan yang sedang dalam posisi proletariat, selalu atas nama perusahaan, bukan atas dasar hati nuraninya yang paling dalam.
Warung kecil, pada titik ini, punya martabat kemanusiaan yang adiluhung. Tidak ada suatu kepalsuan serius di dalam lingkup transaksinya. Bahkan banyak ibu-ibu warung makan yang tidak pernah mengecek apa saja yang konsumen makan, ia hanya bertanya langsung dan berharap kejujuran. Konsumen bohong bisa saja, tapi si ibu tak ambil pusing, ia pasti berpikir, "Kejujuran selalu menang. Yang dusta pasti ada balasannya." Hanya warung kecil yang punya kemungkinan seseorang dapat gratis rokok karena bisa memberikan suatu obrolan memikat di petang itu, yang punya kemungkinan dua manusia ribut oleh sebab problem tatapan mata yang nyalang antara keduanya, yang punya kemungkinan dihutangi dengan jaminan kepercayaan semata. Dalam warung kecil ada dinamika kehidupan yang mini, yang memang pada kenyataannya hidup sekompleks itu. Yang sungguh disederhanakan persoalannya di warung besar. Di warung besar kamu tinggal bayar maka segala-gala realitas kehidupan disembunyikan. Hidup itu manis ketika kamu bayar!
Harusnya kita sedikit berkaca pada proses kelahiran dua filsuf besar dalam sejarah pemikiran Barat, yaitu Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir. Mereka lahir bukan dari kepalsuan warung-warung kapitalistik, tapi di sebuah warung kecil bernama Café de Flore. Kafé, sebelum dimiskonsepsikan jadi sarang para borjuis, dulunya menjadi tempat para proletar bertukar pikir dan melahirkan ide-ide brilian. Harusnya, dengan harga makanan murah dan tampilan dunia apa adanya, sudah seyogianya warung kecil menjadi tempat orang membangun fondasi untuk merubah dunia. Di warung kapitalistik, orang tak bisa melihat dunia, orang tak bisa berpikir terlalu jauh. Mereka terhalang tembok yang terlalu tinggi, mereka sibuk memikirkan citra apa yang melekat.
Superb!
ReplyDelete*sambil seruput kopi "kapitalis" seduhan sendiri*
Syarif, kalau para filsuf lahir dari warung kapitalistik, kira-kira tulisannya bakal seperti apa?
ReplyDeletetulisannya bakal kaya Marzuki Alie, ditulisin sama orang lain! hahaha.
ReplyDelete