(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Terima kasih sebelumnya pada sahabat saya, Kang Trisna yang memberi buku To Kill a Mockingbird sebagai kado ulangtahun. Bukan buku yang mudah untuk diselesaikan. Saya perlu hampir empat bulan untuk mengakhiri dengan perasaan yang tercerahkan. Hanya beberapa jam setelah membaca novelnya, saya menyambangi filmnya dengan judul yang sama. Film yang digarap tahun 1962 (dua tahun setelah novelnya terbit) itu menguatkan imaji saya tentang seorang tokoh yang disebut sebagai salah satu pahlawan terbaik dalam sejarah perfilman Amerika: Atticus Finch.
Atticus Finch adalah tokoh sentral dalam buku To Kill a Mockingbird. Pengacara sekaligus orangtua tunggal bagi dua anaknya yang masih kecil-kecil. Filmnya menurut saya sangat sukses mengejawantahkan figur Atticus ke tampilan visual. Penampilan Gregory Peck begitu karismatik dan persis seperti apa yang saya bayangkan (Dari novel ke film biasanya mengandung kekecewaan, salah satu yang saya ingat adalah Audrey Tatou yang memerankan detektif Sophie Novou di Da Vinci Code).
Yang cukup disoroti dari peran Atticus tentu adalah sebagai pengacara yang membela orang kulit hitam bernama Tom Robinson. Ia menerima resiko dibenci oleh hampir semua penduduk oleh sebab pembelaannya itu. Wajar jika ia merasa terdesak, pun anak-anaknya, karena kota yang mereka tinggali kecil (namanya Maycomb) dan hampir satu sama lain saling kenal.
Apa yang saya pelajari dari sosok Atticus bukanlah semata-mata keteguhannya membela kaum minoritas meski di bawah tekanan. Namun saya demikian kagum pada bagaimana caranya membagi peran antara pekerjaan dan keluarga. Ia membesarkan kedua anaknya yang sedang rajin-rajinnya bertanya macam-macam, dengan kasih sayang seorang ibu. Atticus mengajari Jem dan Scout membaca, menemani mereka menjelang tidur, sekaligus juga harus rela menjadi tontonan kedua anaknya ketika wajah ia diludahi seorang penduduk Maycomb. Demi menjaga mata anak-anaknya dari pemandangan masa kecil yang kurang sedap, ia hanya menyapu mukanya dan berusaha tetap tegar tanpa melawan.
Atticus, bagi saya, menjadi suatu prototip bagaimana konsekuensi menjadi dewasa. Ternyata pada tahap tertentu, saya tidak bisa hidup dalam satu persona untuk segala hal. Ternyata menyesuaikan diri untuk menjalani multiperan dalam berbagai situasi adalah kebijaksanaan tersendiri. Manusia tidak bisa jadi pengacara saja, bapak saja, anak saja, kawan saja, sahabat saja, orang baik saja, penjahat saja. Ia memiliki seluruh peran itu sekaligus, dan pada akhirnya tergantung kebijaksanaan kita mau membuka katup yang mana untuk situasi yang mana.
You never really understand a person until you consider things from his point of view, until you climb inside of his skin and walk around in it. -Atticus Finch
Comments
Post a Comment