(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Pernahkah melihat, dalam sebuah konser musik klasik, pianis ditemani seseorang di sebelahnya? Orang tersebut bertugas membalikkan halaman pada partitur si pianis. Kenapa? Jawabannya mudah, karena si pianis tentu saja sibuk dengan kedua tangannya yang menari di atas tuts.
Orang tersebut dilabeli sebagai page turner. Sebuah pekerjaan yang pernah saya tertawa geli melihatnya, karena dalam benak saya kerap tersirat pertanyaan konyol, "Apa yang terjadi jika dua halaman sekaligus dibalik?" atau "Apa yang terjadi jika halamannya terlipat?" Pokoknya saya menuduh profesi page turner ini sebagai lelucon saja, dan menunjukkan eksklusivitas piano (karena hanya piano yang menggunakan page turner, instrumen lain tidak. Walaupun kita tahu di semua instrumen, membalikkan halaman adalah juga pekerjaan sulit).
Rupanya saya terkena apa yang disebut anekdot Sunda sebagai dipoyok dilebok, yang diejek ia makan sendiri. Tanggal 3 Desember di Surabaya, saya ditunjuk jadi page turner. Pianisnya, Ibu Ratna Sari Tjiptorahardjo yang memang kebetulan saya sedang mengurusi konsernya di tiga kota (Yogya, Bandung, Surabaya) bersama klarinetis Urs Bruegger. Memang hanya kami bertiga yang pergi ke Surabaya, sehingga tidak ada jalan lain untuk menunjuk saya menjadi page turner. Di dua konser sebelumnya di Yogya dan Bandung, ada Ibu Diah, dosen piano UPI yang menjadi pembalik halaman.
Dengan tegang saya duduk di samping Ibu Ratna. Pengetahuan saya membaca partitur yang sudah dipelajari sejak belasan tahun lalu dikerahkan. Perasaan saya? Tegang. Sangat tegang. Terutama oleh sebab saya sering menertawakan pekerjaan ini. Musik berjalan, konsentrasi ditajamkan. Saya ikut saran Urs, bahwa yang dibaca jangan part pianonya, tapi part klarinetnya, lebih mudah karena notasi tidak serumit piano. Mata saya ikut bergerak bersama toge-toge notasi klarinet yang saya amat kagum karena Urs selalu bisa memainkan not sepertigadua tanpa masalah. Empat bar sebelum halaman berakhir saya selalu berdiri dan memegangi ujung halaman menantikan Bu Ratna menganggukkan kepala tanda page mesti segera dibuka dalam waktu sepersekian detik. Hasilnya? Alhamdulillah, kata Bu Ratna saya cuma satu kali telat. Lainnya saya berhasil akurat.
Perasaan saya? Luar biasa! Saya punya kesimpulan baru yang bagi saya menarik: Dari dulu saya berusaha mencari-cari dimana posisi terbaik untuk mengapresiasi musik klasik, dan akhirnya saya temukan bahwa posisi terbaik adalah duduk sebagai page turner. Disitu saya membaca, mendengar, berinteraksi, dan menjadi bagian dari tensi pertunjukkan. Sungguh sebuah VIP, sungguh sebuah posisi yang sempurna. Saya menjadi sadar betul kedahsyatan musikalitas Schumann, Poulenc ataupun Verdi. Bagaimana mereka menuliskan, dan sekaligus bagaimana para pemain menginterpretasi karya-karyanya. Sebuah berkah nikmat yang luar biasa, menjadi seorang pembalik halaman!
Orang tersebut dilabeli sebagai page turner. Sebuah pekerjaan yang pernah saya tertawa geli melihatnya, karena dalam benak saya kerap tersirat pertanyaan konyol, "Apa yang terjadi jika dua halaman sekaligus dibalik?" atau "Apa yang terjadi jika halamannya terlipat?" Pokoknya saya menuduh profesi page turner ini sebagai lelucon saja, dan menunjukkan eksklusivitas piano (karena hanya piano yang menggunakan page turner, instrumen lain tidak. Walaupun kita tahu di semua instrumen, membalikkan halaman adalah juga pekerjaan sulit).
Rupanya saya terkena apa yang disebut anekdot Sunda sebagai dipoyok dilebok, yang diejek ia makan sendiri. Tanggal 3 Desember di Surabaya, saya ditunjuk jadi page turner. Pianisnya, Ibu Ratna Sari Tjiptorahardjo yang memang kebetulan saya sedang mengurusi konsernya di tiga kota (Yogya, Bandung, Surabaya) bersama klarinetis Urs Bruegger. Memang hanya kami bertiga yang pergi ke Surabaya, sehingga tidak ada jalan lain untuk menunjuk saya menjadi page turner. Di dua konser sebelumnya di Yogya dan Bandung, ada Ibu Diah, dosen piano UPI yang menjadi pembalik halaman.
Dengan tegang saya duduk di samping Ibu Ratna. Pengetahuan saya membaca partitur yang sudah dipelajari sejak belasan tahun lalu dikerahkan. Perasaan saya? Tegang. Sangat tegang. Terutama oleh sebab saya sering menertawakan pekerjaan ini. Musik berjalan, konsentrasi ditajamkan. Saya ikut saran Urs, bahwa yang dibaca jangan part pianonya, tapi part klarinetnya, lebih mudah karena notasi tidak serumit piano. Mata saya ikut bergerak bersama toge-toge notasi klarinet yang saya amat kagum karena Urs selalu bisa memainkan not sepertigadua tanpa masalah. Empat bar sebelum halaman berakhir saya selalu berdiri dan memegangi ujung halaman menantikan Bu Ratna menganggukkan kepala tanda page mesti segera dibuka dalam waktu sepersekian detik. Hasilnya? Alhamdulillah, kata Bu Ratna saya cuma satu kali telat. Lainnya saya berhasil akurat.
Perasaan saya? Luar biasa! Saya punya kesimpulan baru yang bagi saya menarik: Dari dulu saya berusaha mencari-cari dimana posisi terbaik untuk mengapresiasi musik klasik, dan akhirnya saya temukan bahwa posisi terbaik adalah duduk sebagai page turner. Disitu saya membaca, mendengar, berinteraksi, dan menjadi bagian dari tensi pertunjukkan. Sungguh sebuah VIP, sungguh sebuah posisi yang sempurna. Saya menjadi sadar betul kedahsyatan musikalitas Schumann, Poulenc ataupun Verdi. Bagaimana mereka menuliskan, dan sekaligus bagaimana para pemain menginterpretasi karya-karyanya. Sebuah berkah nikmat yang luar biasa, menjadi seorang pembalik halaman!
Keren. Gue malah baru liat kalau ada page turner. Terus udah gitu, kayaknya modalnya gak sekedar bisa balikin halaman doang. Keren.
ReplyDelete