Perawatan yang saya lakukan adalah membersihkan wajah atau kita sebut saja secara trendi dengan facial. Sebetulnya saya tidak suka, karena ternyata sakit bukan main. Saya anggap para facialist adalah orang masokis: mereka menikmati kesakitan. Namun sebagai budak lembaga bernama pernikahan, saya taat saja demi kelancaran bersama.
Setelah konsultasi dengan dokter, apa yang terjadi berikutnya adalah vonis yang menyebutkan bahwa wajah saya harus dilaser. Saya ditidurkan di suatu ruangan, diberi kacamata anti radiasi, ditutup kupingnya, dan sayup-sayup terdengar suara dokter pria yang lembut bagaikan Morpheus berkata pada Neo, "Kamu akan mengetahui kebenaran setelah ini." Yang terjadi kemudian adalah bunyi mesin aneh yang membuat saya seperti berada dalam kapal ruang angkasa. Laser ditembakkan ke wajah, rasanya seperti dicubit, dan bau hangus menyengat dimana-mana. Di sela-sela kegiatan absurd itu, dokter selalu berkata halus, "Tidak apa-apa, tidak apa-apa."
Setelah itu semua saya kembali ke jalanan untuk pulang dan merenungkan apa yang terjadi. Sungguh ini adalah bentuk konspirasi kekuasaan maha rapi yang membuat manusia seolah berkehendak bebas padahal tidak:
- Media menciptakan citra wajah yang baik adalah yang mulus tanpa jerawat dan flek. Dengan demikian perusahaan perawatan wajah tentu saja jadi berkembang biak. Adapun jika media berpendapat bahwa, "Wajah yang bagus adalah yang berjerawat", maka kita tidak akan menemukan semisal Natasha Skincare bermunculan. Atau bisa saja slogan Natasha Skincare akan menjadi, "Menumbuhkan jerawat di wajahmu sebanyak mungkin".
- Dokter adalah instrumen kekuasaan sains yang ampuh. Sebelum saya dirawat, ada dokter khusus dari pihak perusahaan yang mengecek wajah saya. Sebelumnya tentu saja ada asumsi bahwa dokter itu akan berkata yang benar. Kekuasaan sains menunjukkan bahwa, "Dokter selalu benar". Bahkan jika ia berkata, "Tenggelamkan wajahmu ke dalam cuka", maka saya yakin pasien-pasien akan percaya. Hanya saja ia berkata, "Wajahmu harus dilaser", dan saya sungguh percaya bahwa wajah saya harus dilaser meskipun terdengar tidak masuk akal.
- Ketika saya dihadapkan pada kebingungan, saya kontak teman perempuan yang memang berpengalaman dalam facial. Katanya, "Jangan khawatir ya, memang begitu, beauty is pain!" Saya tahu beauty is pain bukanlah tagline ciptaan teman saya itu. Tapi ciptaan media juga.
- Teman saya yang lain mengatakan, "Kamu betul-betul gambaran pasangan modern. Istri di kantor, suami perawatan wajah." Oh, God, saya yakin ia mendapatkan gambaran itu juga dari media!
- Mengadu pada orangtua tidaklah mungkin, karena beliaulah yang menciptakan imej, "Orang nikah itu ya mesti bersih mukanya." Ini lain lagi, ini kekuasaan kultural, meski tidak kultural-kultural amat. Yang pasti yang satu ini ultimate power.
- Saya mencari dalam agama, tidak ada sunnah nabi yang menyuruh facial menjelang pernikahan. Tapi saya sudah tahu jawaban orang-orang jika saya berdebat dengan ini, "Tentu saja nabi tidak mencontohkan, karena jaman nabi kan belum ada Natasha Skincare."
Nalar saya menyerah karena ketiadaan dukungan. Saya akhirnya terpaksa berpendapat bahwa, "This is the truth!" Bahwa kekuasaan di sekitar kita tidak memberi peluang bagi nalar untuk merdeka. Bahwa apa yang kita sebut sebagai kehendak bebas, sebetulnya sudah diatur sedemikian halus sehingga masih tetap dalam koridor kekuasaan tertentu. Hasrat kita yang merdeka dan berbahaya, dikelola menjadi jinak bagai merpati.
Saya bisa mengatakan bahwa kita berada pada suatu era yang "sulit untuk percaya apapun karena segala apapun bisa sangat dipercaya". Sulit untuk mempercayai apakah kacang kedelai baik untuk kesehatan atau tidak karena di rubrik kesehatan sendiri minggu ini bicara soal faedah kacang kedelai, minggu depannya bicara soal bahaya kacang kedelai. Kita terpaksa percaya semua hanya karena rubrik itu ada di dalam perusahaan media besar bernama Tempo misalnya. Dunia hari ini tidak punya tempat untuk alasan bernama "kekurangan informasi". Dengan informasi bak air bah, yang mungkin hari ini adalah "kekeliruan informasi".
Apa kemudian yang harus kita pegang? Saya tidak punya solusi, bahkan Foucault pun hanya bisa menghancurkan dan tidak membangun apa-apa. Solusi saya hanya memberikan kutipan Nietzsche yang makin hari makin harus kita amini, "Tidak ada kebenaran, yang ada kekuasaan."
Comments
Post a Comment