(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Siddhartha, sebuah novel dari Herman Hesse, saya baca untuk kedua kalinya setelah sekitar empat tahun berlalu. Saya berterimakasih pada seorang sahabat, Indra Permadi yang mengenalkan saya pada novel ini pada sekitar tahun 2008. Saya sendiri pernah membuat review-nya di blog yang lama yang tidak pernah di-update lagi.
Novel ini, dibaca kemarin dengan dibaca empat tahun lalu, masih punya daya magis bagi saya. Masih memiliki daya getar yang hebat sehingga mampu membangunkan saya dari tidur dogmatis (persoalannya, apakah ketika saya bangun dari tidur, itu justru saya berada di mimpi berikutnya seperti film Inception?). Siddhartha adalah kisah tentang Siddhartha, pemuda yang melakukan perjalanan spiritual. Novel ini bercerita tentang pergulatan batinnya yang terbagi dalam beberapa tahap yang mengagumkan (jangan terlalu kecewa jika saya paparkan jalan ceritanya disini, karena gaya tutur Hesse masih tetap mengasyikan untuk dibaca):
Boleh saja kita menganggap Siddhartha mengalami "kemunduran". Seperti ia kembali ke asal mula, seperti ia kembali ke masa dimana ia belum mengembara. Namun ini persis mengingatkan saya pada salah satu koan dalam Buddhisme Zen:
Sebelum pencerahan, gunung adalah gunung, laut adalah laut.
Semasa pencerahan, gunung bukanlah gunung, laut bukanlah laut.
Setelah pencerahan, gunung adalah gunung, laut adalah laut.
Mengingat kembalinya segala sesuatu, saya agak bergidik juga. Fase terakhir kehidupan Siddhartha menunjukkan bahwa muara dari segala perjalanan spiritualnya adalah justru seperti semboyan Pidi Baiq: "Tidak apa-apa." Bahwa penjahat berbuat jahat, dengan polisi menahannya, adalah sama dengan batu yang kelak jadi tanah, yang kelak akan menghidupi tumbuh-tumbuhan. Semuanya memang sudah begitu: Tidak apa-apa. Bahwa hidup ini sudah satu kesatuan yang utuh. Spinoza menyebutnya dengan sub specie aeternitatis: melihat segalanya dari kacamata keabadian.
Sudah, sudah, semakin saya berkata, semakin terasa kebodohannya. Pintaku cuma satu pada Tuhan, bisakah lepaskan kami semua dari kata-kata?
Novel ini, dibaca kemarin dengan dibaca empat tahun lalu, masih punya daya magis bagi saya. Masih memiliki daya getar yang hebat sehingga mampu membangunkan saya dari tidur dogmatis (persoalannya, apakah ketika saya bangun dari tidur, itu justru saya berada di mimpi berikutnya seperti film Inception?). Siddhartha adalah kisah tentang Siddhartha, pemuda yang melakukan perjalanan spiritual. Novel ini bercerita tentang pergulatan batinnya yang terbagi dalam beberapa tahap yang mengagumkan (jangan terlalu kecewa jika saya paparkan jalan ceritanya disini, karena gaya tutur Hesse masih tetap mengasyikan untuk dibaca):
- Siddhartha sebagai seorang remaja yang cerdas, anak dari brahmin terhormat, yang taat beribadah dan melakukan persembahan. Ia hapal banyak ayat-ayat dari kitab sucinya dan melakukan samadi sering sekali.
- Siddhartha pergi dari kehidupan mapannya, meninggalkan keluarga dan berangkat bersama para samana. Samana bisa disebut sebagai pertapa yang mengonsentrasikan hidupnya untuk asketisme, penjauhan diri dari hal-hal duniawi, dan melepaskan diri dari lingkaran samsara. Mereka hidup di hutan, hanya berpuasa dan samadi.
- Siddhartha meninggalkan samana karena tidak jua menemukan kebahagiaan. Ternyata para samana ini juga mengolok-olok secara ekstrim kehidupan duniawi. Siddhartha datang pada Sang Buddha bernama Gotama. Namun segera Siddhartha menolak ajaran Gotama dengan sebuah kalimat mengagumkan, "Tidak ada seorangpun yang dapat tercerahkan lewat sebuah ajaran." Siddhartha pergi ke kota, meninggalkan kehidupan asketik dan menolak semua ajaran.
- Di kota ia bertemu dengan Kamala, seorang pelacur terkenal yang mengajarkannya arti keduniawian. Siddhartha merubah pandangannya dari yang tadinya melihat intisari dari apa yang tampak, menjadi menghargai apa yang tampak itu sendiri. Siddhartha hidup bergelimang harta, menyukai minuman, perjudian, dan menjadi kekasih Kamala.
- Keduniawian tidak juga membuatnya bahagia. Ia menganggapnya sebagai keterjebakan dengan samsara. Siddhartha lari ke hutan dan ia menemukan seorang juru sampan bernama Vasudeva yang pernah menyeberangkannya dulu. Vasudeva adalah seorang yang belajar segala sesuatu dari sungai. Katanya, sungai berbicara banyak. Vasudeva juga seorang pendengar yang baik, dari ia Siddhartha berguru kembali.
- Ternyata, hubungannya dengan Kamala dulu menghasilkan anak yang ia tidak ketahui. Meninggalnya Kamala membuat Siddhartha harus mengurus Siddhartha muda yang sombong dan keras kepala. Ia belajar sesuatu lagi, bahwa ada penderitaan yang ia peroleh dari mengurus anak ini, namun ada kebahagiaan tak terperi yang meliputinya.
- Siddhartha muda kabur ke kota, Siddhartha tua menjadi juru sampan sendirian setelah Vasudeva juga meninggal dunia. Pada kawannya semasa kecil, Govinda, Siddhartha berbagi bahwa, "Kata-kata tidak bisa menjelaskan kebijaksanaan. Kebijaksanaan jika dibagi akan terdengar bodoh." Ia juga menambahkan kalimat yang mengagumkan, "Lawan dari kebenaran, adalah sama benarnya, itu hanya persoalan kata-kata."
Boleh saja kita menganggap Siddhartha mengalami "kemunduran". Seperti ia kembali ke asal mula, seperti ia kembali ke masa dimana ia belum mengembara. Namun ini persis mengingatkan saya pada salah satu koan dalam Buddhisme Zen:
Sebelum pencerahan, gunung adalah gunung, laut adalah laut.
Semasa pencerahan, gunung bukanlah gunung, laut bukanlah laut.
Setelah pencerahan, gunung adalah gunung, laut adalah laut.
Mengingat kembalinya segala sesuatu, saya agak bergidik juga. Fase terakhir kehidupan Siddhartha menunjukkan bahwa muara dari segala perjalanan spiritualnya adalah justru seperti semboyan Pidi Baiq: "Tidak apa-apa." Bahwa penjahat berbuat jahat, dengan polisi menahannya, adalah sama dengan batu yang kelak jadi tanah, yang kelak akan menghidupi tumbuh-tumbuhan. Semuanya memang sudah begitu: Tidak apa-apa. Bahwa hidup ini sudah satu kesatuan yang utuh. Spinoza menyebutnya dengan sub specie aeternitatis: melihat segalanya dari kacamata keabadian.
Sudah, sudah, semakin saya berkata, semakin terasa kebodohannya. Pintaku cuma satu pada Tuhan, bisakah lepaskan kami semua dari kata-kata?
Om
Comments
Post a Comment