Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Jarak




Michael Corleone, seperti yang diperankan Al Pacino dalam film The Godfather, adalah sosok yang mendapat penghargaan sebagai salah satu iconic villain oleh American Film Institute. Pemilihan Michael sebagai villain mungkin tidak disetujui semua orang. Bagi saya sendiri, ia seorang jagoan, ia protagonis. Michael adalah family man sekaligus juga tragic hero. Ini bukan interpretasi saya yang berlebihan, tapi tidakkah dalam film, Michael memang digambarkan sebagai seorang tokoh utama? Tidakkah kerajaan Corleone, dengan tetek bengek bisnis "haram" di luar sana, tetap digambarkan sebagai keluarga yang hangat dan menjunjung tinggi harga diri?


Di film yang lain ada Travis Bickle (Diperankan dengan luar biasa oleh Robert de Niro dalam film Taxi Driver). Travis adalah seorang supir taksi yang punya kegelisahan akan lingkungan sekitar. Ia merasa bahwa ia harus merubah keadaan. Keterbatasannya sebagai seorang supir taksi tidak menjadi persoalan. Travis membeli senjata, menembaki siapa saja yang merongrong keadilan. Seorang pelacur muda ia pulangkan ke orangtuanya. Pada titik ini Travis menjadi seorang pahlawan.

***

Apa gerangan yang mau saya bicarakan? Saya sedang ingin membicarakan soal jarak. Tentu saja bukan pemikiran terbelakang kalau kita menganggap semua mafia adalah jahat dan semua supir taksi tidak ada yang berani merubah keadaan sekitar. Ini stereotip yang lumrah, yang diterbitkan dari konstruksi sosial. Kedua film di atas, dengan tokoh yang berbeda, mencoba mendekati apa yang stereotip, untuk melihat dari jarak yang sangat dekat. Melihat seorang mafioso dan supir taksi secara eksistensial.

Pada titik ini kita sebenarnya susah menempatkan posisi hitam putih pada diri mereka. Jarak ini adalah "jarak manusiawi", ketika kita merasa bahwa ada kesamaan perasaan antara saya dan Michael Corleone, saya dan Travis Bickle. Bahwa ketika mereka gelisah, maka ini adalah gelisah yang sama dengan kegelisahan saya. Ketika mereka geram, ini adalah kegeraman yang sama dengan yang saya punya. Nilai-nilai loyalitas keluarga Corleone, terang saja bisa diterapkan dengan mudah pada keluarga saya.

Apa sesungguhnya yang menciptakan stereotip berlebihan? Bisa jadi adalah jarak yang "nanggung". Jarak yang tidak mau dekat tapi juga tidak mau jauh untuk meneropong keholistikan. Mengenal satu mafioso jahat, kita langsung menyimpulkan bahwa semua mafia jahat. Mengenal satu supir taksi berpikiran dangkal, kita langsung merasa bahwa tak mungkin ada supir taksi yang mau merubah dunia! Ini adalah jarak yang tanggung, jarak yang sudah hampir pasti sanggup menciptakan stereotip yang terburu-buru. Ambil contoh para teroris yang melakukan pemboman dengan target simbol-simbol hegemoni Barat itu. Tanyakan pada mereka: Adakah satu saja, satu saja, orang Amerika atau Yahudi yang kalian kenal dekat, dengan sangat baik, hingga bersahabat, hingga bersaudara? Entah kenapa saya yakin tidak (walaupun yang saya perbuat ini adalah stereotip dari jarak yang nanggung juga). Yang saya yakini, mereka melihat Barat dari konsep-konsep yang sempit saja.

Jika tidak sanggup mendekati fenomena, atau malas, maka ada alternatif yang mudah, yaitu menjauhkannya sejauh-jauhnya (jangan nanggung!). Pada titik ini keberbedaan juga akan sulit ditemukan. Seperti menyaksikan daratan dari pesawat terbang, maka tak akan ditemukan batas-batas negara, ideologi, agama, ataupun bangsa. Cara melihat dari jarak yang amat jauh ini, Spinoza menyebutnya dengan sub specie aeternitatis: melihat segalanya dari perspektif keabadian. Bahwa manusia, secara holistik betul-betul tidak punya free will. Mereka diciptakan dalam kodratnya masing-masing, dalam lingkungannya masing-masing, dalam keterbatasan serta porsinya masing-masing.

Jauh dekat sama saja. Yang penting jangan nanggung!


Semua gambar diambil dari Wikipedia.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...