(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Young Composers in Southeast Asia Competition & Festival 2011 adalah suatu acara yang diselenggarakan atas kerjasama Goethe Institut dan Universitas Pendidikan Indonesia. Secara umum, acara ini digelar untuk menampung komposer muda yang memiliki ketertarikan pada komposisi untuk instrumen barat dan timur sekaligus. Kata Dieter Mack, penyelenggara, dari tujuh puluhan komposisi yang masuk, sepuluh diantara menjadi finalis terpilih. Sepuluh karya itulah yang kemudian ditampilkan pada malam itu di Dago Tea House. Para performa berasal dari Ensembel Mosaik dan Kyai Fatahillah. Ensembel Mosaik yang berasal dari Jerman mewakili instrumen barat, sedang Kyai Fatahillah dari Bandung mewakili instrumen timur. Keduanya bersatu padu menampilkan dan menginterpretasi komposisi-komposisi dari para finalis.
Saya tidak punya suatu judul yang menggambarkan garis besar dari apa yang saya saksikan barusan. Saya lebih memilih judul "catatan", agar tidak perlu berupaya mencari-cari satu esensi.
1. Tidak dapat disangkal, bahwa sajian malam itu adalah apa yang disebut dengan "musik kontemporer". Jika disebut musik klasik, tidak tepat juga, karena apa yang disuguhkan mempunyai suatu "perasaan kebaruan" yang barangkali tidak ada padanannya di masa lampau. Yang saya rasakan, kebaruan ini berasal dari dua aspek, pertama yaitu aspek musikal itu sendiri. Secara ritmikal, harmoni, maupun tonalitas, musik yang dihadirkan terasa tidak lazim. Secara subjektif juga sulit dinikmati dan dicerna langsung. Kedua, adalah eksplorasi instrumen. Instrumen tidak hanya dibunyikan "sebagaimana mestinya", tapi juga ada upaya untuk menggali kemungkinan-kemungkinan apa saja yang mampu dihasilkan oleh suatu karakteristik alat musik.
2. Saya tidak setuju jika musik kontemporer dikatakan suatu musik yang "asal bunyi". Meskipun secara sepintas dapat dikatakan demikian, jika acuannya adalah ritmik dan harmoni yang sehari-hari kita jumpai. Sering sekali terdapat celetukan, "Ah, bikin yang kaya gitu sih saya juga bisa." Hal tersebut merupakan respon dari komposisi musik kontemporer yang jika dilihat sekilas seperti chaotic dan tidak punya keteraturan. Musik kontemporer justru sedang berupaya menangkap keseharian kita yang sejati sesuai dengan salah satu karakteristik seni yang mengimitasi kehidupan. Dalam pengalaman keseharian kita, seringkali bunyi hape, deru mobil, percakapan orang, serta bunyi pesawat terbang berseliweran sembarangan tanpa teratur. Musik kontemporer ada upaya menangkap fenomena itu, sehingga ketika mendengarkannya seyogianya kita justru menyadari sebuah keadaan "kesekarangan".
3. Menambahkan poin di atas, saya juga menemukan suatu keadaan nostalgic bagi sebahagiaan kaum yang kerap memuja musik masa lampau namun menutup diri pada musik kontemporer. Perlu diketahui bahwa ada kecenderungan bagi manusia untuk menganggap masa lalu lebih baik dari sekarang. Penyuka Bach, Beethoven, Schumann, Debussy, atau Mozart yang menganggap musik mereka jauh lebih harmonis dan enak didengar, mungkin lupa bahwa pada jamannya mereka-mereka ini justru atonal dan tidak harmonis: kontemporer. Apa yang disuguhkan malam tadi terasa tidak nyaman di telinga jaman ini, namun suatu saat akan dikenang sebagai "musik yang mewakili jaman itu".
4. Menyaksikan konser secara live adalah whole body experience. Seluruh indra ditajamkan dan "dipaksa" untuk menangkap segala fenomena yang terjadi. Kata Dieter Mack, "Menyaksikan konser musik secara langsung jauh lebih baik daripada menonton televisi ataupun mendengarkan CD." Beberapa komposer menyadari hal itu sehingga ada beberapa sajian komposisi yang juga menarik secara visual.
5. Persoalan harmonisasi instrumen timur dan barat tidak seharusnya menjadi hal yang terlalu serius. Sajian malam tadi membuktikan bahwa yang terpenting bukan lagi soal tuning ataupun key signature, tapi lebih pada interaksi antar sesama pemain. Lagi-lagi saya mengutip Dieter Mack, "Apapun yang dimainkan dengan perasaan sungguh-sungguh, akan sampai pada penonton."
6. Kontemporer bukanlah sejenis aliran musik. Ia adalah suatu kesadaran yang mencoba menangkap fenomena masa kini dan meresponnya. Orang bisa saja mengambil jalur kontemporer, tapi saya pikir ia mesti lebih dulu mempunyai pengetahuan yang cukup tentang musik-musik di masa lampau. Selain itu, ia juga mesti memiliki konsep yang kuat tentang bagaimana ia menangkap dunia keseharian. Lagi-lagi Dieter Mack, "Memahami musik harus disertai filsafat, atau seseorang mempunyai lubang dalam konsepnya."
7. Faktanya, acara "seni yang dipertandingkan" masih sering diperdebatkan. Namun di akhir acara saya sempat berbincang sejenak dengan legenda hidup Slamet Abdulsjukur. Katanya, "Ini pertandingan yang sangat sehat dengan juri yang jujur." Suatu pendapat yang menarik karena akhirnya saya menemukan opini mengenai "pertandingan seni yang sehat".
8. Pasca perang dunia kedua, dunia barat dilanda suatu trend filsafat bernama posmodernisme. Tokoh-tokoh seperti Lyotard, Foucault atau Derrida mengatakan adanya konstruksi kebenaran dalam segala sesuatu. Pengaruh besarnya, dunia barat sebagai "kiblat kebenaran" di era-era sebelumnya mengalami kegoncangan, dan dunia timur lambat laun mulai ditengok. Acara ini sungguh pandai memanfaatkan momen global dimana dunia timur sedang menjadi pusat perhatian. Posmodernisme adalah suatu jalan bagi "kaum yang terpinggirkan" di era-era sebelumnya untuk bersuara. Suatu kesempatan juga bagi dunia timur selain mengeksplorasi ke luar, tapi juga menggali ke dalam. Mencari jati diri yang asali.
Demikian beberapa catatan tentang acara yang pada akhirnya "dimenangkan" oleh Alexander Villanueva (Filipina), Matius Shan Boone (Indonesia), dan Danilo Endangan Imson (Filipina) tersebut. Patut dipuji karena ketiga pemenang tersebut tidak berhierarki juara satu, dua, dan tiga. Ketiganya adalah pemenang bersama dengan hadiah uang yang sama pula.
Comments
Post a Comment