(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Malam minggu itu, garasi rumah di jalan Rebana nomor sepuluh atau biasa disebut dengan Garasi 10 dibuka lebar-lebar. Publik boleh datang sesuka hati, menikmati sajian yang akan digelar. Gelaran di Garasi 10 tersebut adalah bagian dari acara rutin yang bertajuk Munggah. Sesuai namanya, memang acara itu ditujukan untuk menyambut Ramadhan. Latar "panggung" dibuat unik, dengan juntaian kertas di langit-langit dan manusia telanjang tergantung, terbuat dari kertas juga. Di kiri kanan ada pajangan gambar yang dipigura. Di belakang "panggung" dipajang rak buku. Di dalam garasi itu, bukan mobil yang hendak dipanggungkan, melainkan orkes keroncong, namanya Jempol Jenthik.
Orkes Keroncong Jempol Jenthik (Inggris disingkat menjadi: JJOK) berformasikan tujuh pemain instrumen dan tiga vokal. Instrumen itu terdiri dari kontrabas, cello, cak, cuk, flute, biola, dan gitar. Yang menarik, seluruh personil mengenakan kaos yang sama, berwarna hitam bertuliskan: "Play Keroncong Music, Save Indonesian Heritage". Sebelum JJOK ini tampil, ada pembukaan singkat, dua lagu dari ensembel gitar KlabKlassik. Sekedar menyiapkan ambience bahwa garasi ini sudah ditahbiskan menjadi ruang konser, bukan lagi tempat menyimpan kendaraan seperti lazimnya.
JJOK akhirnya "naik panggung". Pak Adi B. Wiratmo selaku pimpinan orkes menyapa audiens dengan hangat dan berulangkali menyampaikan bahwa, "Orkes ini bukan profesional, jadi maaf kalau salah-salah." Penampilan dibuka dengan lagu Manuk Dadali instrumental dengan melodi utama dari flute dan iringan khas keroncong. Apa yang ditakutkan Pak Adi tentang kesalahan yang mungkin dibuat, tidak terjadi bagi telinga penonton yang memadati Garasi 10. Alasannya, atmosfir yang dibangun kadung masuk ke hati. Seperti pasangan yang dimabuk cinta, hari itu sang wanita lupa bergincu pun tak masalah bagi prianya.
Pak Andar Bagus Sriharno
Di sela-sela itu pula, Pak Adi tak henti-hentinya mempromosikan Musik Keroncong sebagai produk dari local genius Indonesia, "Saya heran jika ada yang mengatakan Musik Keroncong ini asalnya dari Portugis, karena di sana tidak ada musik seperti ini. Meskipun alat-alatnya dari Barat, pastilah Musik Keroncong ini kelahirannya tak lepas dari kejeniusan orang-orang Indonesia." Atas dasar itu, Pak Adi beserta kawan-kawannya di komunitas Keroncong Cyber tengah aktif mengampanyekan keroncong sebagai musik milik Indonesia. Salah satu langkah konkritnya adalah dengan melestarikannya terus menerus. Memainkannya di manapun dan menyisipkan nilai-nilai edukasi di dalamnya. Seperti lewat penerbitan buletin Tjroeng secara berkala yang disebar secara gratis. Isinya adalah info seputar kegiatan keroncong baik di tanah air maupun mancanegara.
Jika melihat banyak fenomena kebudayaan maupun sosio kultural di Indonesia ini, memang sangat masuk akal bahwa Musik Keroncong adalah hasil kreativitas orang Indonesia. Di kelas filsafat dulu pernah dibahas, bahwa orang Indonesia pastilah mesti kreatif, karena dituntut untuk beradaptasi dari godaan warga asing yang kerap menyambangi nusantara lewat jalur perdagangan. Wayang misalnya, produk kebudayaan India ini menubuh dalam diri masyarakat nusantara dulu. Tapi masyarakat lokal tak kemudian terlena dan membiarkan wayang merajalela. Dengan kreatif, mereka mencipta tokoh Punakawan, empat figur yang humoris, cuek, buruk rupa, namun krusial bagi kehidupan para ksatria. Empat tokoh punakawan ini adalah khas Indonesia, tidak disinggung sedikitpun dalam epos Mahabharata ataupun Ramayana.
Melihat contoh fenomena wayang tersebut, bisa jadi Musik Keroncong adalah penyikapan kreatif atas invasi bangsa Portugis dan Belanda lewat musik. Dengan "nakal", orang Indonesia mengadopsi instrumen yang digunakan mereka secara utuh penuh, namun irama dan teknik memainkannya dirombak total. Terbukti dari senar kontrabas dan cello yang cuma tiga dari lazimnya empat, serta cara memainkan cello yang lebih banyak "dikocok" ketimbang digesek.
Lagu Keroncong Kemayoran menjadi penutup manis malam hari itu, sekaligus menandai perubahan suasana yang siap disongsong: Dari Sya'ban ke Ramadhan, dari sikap hidup individual menjadi komunal, dari internasional menjadi lokal, dari lokal menjadi internasional. Ya, dari garasi rumah ini, yang lingkupnya RT dan RW, Musik Keroncong tengah mempersenjatai diri untuk berbalik menginvasi Barat. Menguasai dunia, menjadikan Indonesia bermartabat.
JJOK akhirnya "naik panggung". Pak Adi B. Wiratmo selaku pimpinan orkes menyapa audiens dengan hangat dan berulangkali menyampaikan bahwa, "Orkes ini bukan profesional, jadi maaf kalau salah-salah." Penampilan dibuka dengan lagu Manuk Dadali instrumental dengan melodi utama dari flute dan iringan khas keroncong. Apa yang ditakutkan Pak Adi tentang kesalahan yang mungkin dibuat, tidak terjadi bagi telinga penonton yang memadati Garasi 10. Alasannya, atmosfir yang dibangun kadung masuk ke hati. Seperti pasangan yang dimabuk cinta, hari itu sang wanita lupa bergincu pun tak masalah bagi prianya.
Berturut-turut JJOK memainkan belasan lagu hingga pukul setengah sepuluh malam. Hampir dua jam setengah mereka manggung. Lagu-lagu dari mulai Selendang Sutra, Sakura, Can't Take My Eyes of You, Tuhan, Ave Maria, hingga Dewi Murni dibawakan, sekaligus menunjukkan keragaman repertoar yang mungkin dibawakan oleh sebuah orkes keroncong. Kata Pak Adi, "Selama ada cak, cuk, dan cello, nuansa keroncong pasti akan mampu dibangun." Di tengah-tengah penampilan apik JJOK itu, Pak Andar Bagus Sriharno, seorang dosen dari ITB tampil menyumbang suaranya. Diam-diam, tanpa diduga, suaranya merdu dan kuat. Setiap selesai lagu per lagu, Pak Adi juga mempersilakan hadirin untuk bertanya apapun, menciptakan interaksi yang hangat.
Pak Andar Bagus Sriharno
Di sela-sela itu pula, Pak Adi tak henti-hentinya mempromosikan Musik Keroncong sebagai produk dari local genius Indonesia, "Saya heran jika ada yang mengatakan Musik Keroncong ini asalnya dari Portugis, karena di sana tidak ada musik seperti ini. Meskipun alat-alatnya dari Barat, pastilah Musik Keroncong ini kelahirannya tak lepas dari kejeniusan orang-orang Indonesia." Atas dasar itu, Pak Adi beserta kawan-kawannya di komunitas Keroncong Cyber tengah aktif mengampanyekan keroncong sebagai musik milik Indonesia. Salah satu langkah konkritnya adalah dengan melestarikannya terus menerus. Memainkannya di manapun dan menyisipkan nilai-nilai edukasi di dalamnya. Seperti lewat penerbitan buletin Tjroeng secara berkala yang disebar secara gratis. Isinya adalah info seputar kegiatan keroncong baik di tanah air maupun mancanegara.
Jika melihat banyak fenomena kebudayaan maupun sosio kultural di Indonesia ini, memang sangat masuk akal bahwa Musik Keroncong adalah hasil kreativitas orang Indonesia. Di kelas filsafat dulu pernah dibahas, bahwa orang Indonesia pastilah mesti kreatif, karena dituntut untuk beradaptasi dari godaan warga asing yang kerap menyambangi nusantara lewat jalur perdagangan. Wayang misalnya, produk kebudayaan India ini menubuh dalam diri masyarakat nusantara dulu. Tapi masyarakat lokal tak kemudian terlena dan membiarkan wayang merajalela. Dengan kreatif, mereka mencipta tokoh Punakawan, empat figur yang humoris, cuek, buruk rupa, namun krusial bagi kehidupan para ksatria. Empat tokoh punakawan ini adalah khas Indonesia, tidak disinggung sedikitpun dalam epos Mahabharata ataupun Ramayana.
Melihat contoh fenomena wayang tersebut, bisa jadi Musik Keroncong adalah penyikapan kreatif atas invasi bangsa Portugis dan Belanda lewat musik. Dengan "nakal", orang Indonesia mengadopsi instrumen yang digunakan mereka secara utuh penuh, namun irama dan teknik memainkannya dirombak total. Terbukti dari senar kontrabas dan cello yang cuma tiga dari lazimnya empat, serta cara memainkan cello yang lebih banyak "dikocok" ketimbang digesek.
Lagu Keroncong Kemayoran menjadi penutup manis malam hari itu, sekaligus menandai perubahan suasana yang siap disongsong: Dari Sya'ban ke Ramadhan, dari sikap hidup individual menjadi komunal, dari internasional menjadi lokal, dari lokal menjadi internasional. Ya, dari garasi rumah ini, yang lingkupnya RT dan RW, Musik Keroncong tengah mempersenjatai diri untuk berbalik menginvasi Barat. Menguasai dunia, menjadikan Indonesia bermartabat.
Terimakasih mas Syarif liputannya, dan terimakasih atas apresiasi dan kesempatan keroncong untuk tampil di garasi 10.
ReplyDelete