Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Filsafat di Antara Masjidil Haram dan Gelora Bung Karno

 

Di tahun 2010 kemarin, saya berkesempatan mengunjungi dua tempat yang bagi saya sama-sama besar. Bulan Maret, saya diajak untuk turut serta orangtua umrah ke Tanah Suci. Berjumpa Ka'bah yang berada di dalam Masjidil Haram, ratusan ribu bahkan jutaan manusia yang terpusat ke sana selama nyaris dua puluh empat jam setiap hari mustahil tak membuat hati tergetar. Terasa sekali luapan spiritual yang besar dan meledak-ledak. Muslim manapun yang menjejakkan kakinya di Tanah Suci nyaris sulit untuk menolak nilai-nilai religius maupun spiritual. Karena suasananya sangatlah mendukung. Fascinatum et Tremendum.

Tempat kedua adalah di bulan Desember, yakni Gelora Bung Karno. Secara luas bangunan dan jumlah massa yang datang, sepertinya tidak sebesar Masjidil Haram. Saya kesana untuk membeli tiket final Piala AFF. Mengantri sejak tengah malam, saya tetap gagal mendapatkannya di pagi hari dan antrian massal itu sendiri berujung kerusuhan dan pengrusakan.

Yang menarik adalah sesungguhnya keduanya bagi saya punya persamaan dari segi perasaan. Setelah mengalami pengalaman religius di bulan Maret, bulan Desember pun sesungguhnya memberi saya perasaan yang mirip-mirip. Bahwa dalam kondisi emosi massa yang meluap-luap, kita mau tidak mau akan ikut terbawa arus. Dalam insting kolektif, manusia akan kehilangan identitas personal maupun kekhasannya sebagai individu. Di Masjidil Haram, saya yang biasa shalat bolong-bolong menjadi rajin dan khusyu. Di Gelora Bung Karno, saya yang sering mencemooh suporter yang rusuh malah menjadi ikut-ikutan rusuh. Keduanya identik dan tidak bisa serta merta menempatkan sepakbola pada posisi yang inferior dibanding agama. Sepakbola, bagi strata masyarakat tertentu atau bahkan bagi rakyat yang kehilangan jatidiri, adalah "agama" yang patut dibela. Tidak sedikit yang datang jauh-jauh dari Jawa Timur maupun Papua, ikut berdesak-desakan dan "berjihad" untuk tontonan sembilan puluh menit bola digulingkan kesana-sini.

Kemudian ada filsafat. "Makhluk" yang satu ini kerap dituduh bertentangan dengan agama. Tapi sesungguhnya ia berperan untuk melakukan distansiasi alias pengambilan jarak. Filsafat merupakan satu cara bagi manusia untuk bertindak atas nama akal pikirannya sendiri. Ini sangat dibutuhkan ketika individu lebur dalam lautan massa yang menelan keunikan persona. Filsafat mengajak keluar dari kerumunan dan mempertanyakan apa yang sesungguhnya kita lakukan tanpa terpengaruh emosi-provokatif. Ia menggiring untuk berpikir jernih, ketika rombongan manusia ikut mengelilingi kubus hitam kosong, kita diajak bertanya, "Betulkah Tuhan di dalam sana?" Ia menggiring untuk berpikir jernih, ketika stadion dirusak dan kursi-kursi dilemparkan sebagai bentuk amarah, kita diajak bertanya, "Siapa musuh kita sesungguhnya?"

Ketiadaan pola pikir filosofi inilah yang kemudian menjadikan banyak makhluk yang pulang dari Tanah Suci tidak lebih dari sekumpulan manusia yang terombang-ambing. Ia taat ketika arus religiusitas melanda. Lalu ia jadi laknat ketika di Tanah Air, bersama kawan-kawannya, ia ikut arus korupsi. Ia tidak menjadikan renungan dari Jalaluddin Rumi ini sebagai distansiasi yang menyegarkan kalbunya:

Aku pergi ke Ka’bah di Mekkah.
Dia tidak ada di sana.
Aku menanyakannya kepada Avicenna (lbnu Sina) sang filosuf
Dia ada di luar jangkauan Avicenna
Aku melihat ke dalam hatiku sendiri.
Di situlah, tempatnya, aku melihat dirinya.
Dia tidak di tempat lain.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...