Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

KlabKlassik Edisi Playlist: Merayakan Runtuhnya Subjek-Objek

Edmund Husserl (1859-1938), seorang matematikawan asal Jerman, suatu hari pernah merumuskan demikian: Bahwa dunia keilmuan masa itu, dengan segala dalil subjek-objeknya, justru telah gagal menjelaskan dunia keseharian (lebenswelt). Ilmu positif telah gagal menjelaskan pernyataan-pernyataan personal seperti, "Hari yang sendu," "Air yang suci," "Cinta yang mendalam," hingga "Tuhan yang dekat denganku." Para saintis lupa bahwa dalam dunia keseharian, apa yang dialami oleh subjek sebagai ada, itu justru yang lebih esensial ketimbang dunia yang dikonstruksi oleh distingsi subjek-objek yang miskin. Pak Bambang pernah mencontohkan pemikiran Edmund Husserl ini dengan sangat baik. Bahwa air, bagi dunia positif dirumuskan dalam H20. Tapi fenomenologi (ilmu yang kemudian dikembangkan oleh Husserl), mengatakan bahwa sah-sah saja jika air kemudian mempunyai makna yang berbeda-beda bagi individu yang berbeda-beda pula. Air bisa sangat luas, bisa sangat personal maknanya, mulai dari berwudhu hingga penyembuhan. Air yang disepahamkan lewat H20 dianggap Husserl sebagai pemiskinan terhadap makna air itu sendiri.

Mari kita menjauh sedikit dari Husserl, dan membahas apa yang kami lakukan di setiap hari Minggu, minggu keempat. Kami berkumpul dalam satu forum, meminta masing-masing orang untuk membawa satu lagu favoritnya dalam format flashdisk. Setelah dikumpulkan lagu-lagu tersebut dalam satu laptop, kami putar satu per satu, didengarkan dengan seksama, dikomentari sekenanya. Selesai.


Adakah yang istimewa? Tergantung dari sudut pandang mana kau memandangnya. Tapi mari kaitkan dengan fenomenologi Husserl di paragraf pertama, dan mari berkaca pada realitas bagaimana musik diperlakukan hari ini. Musik, bagaimanapun telah menjadi salah satu objek akademik yang maju cukup pesat sejak era Romantik Eropa. Ia sukses dipelajari, dibedah, diilmiahkan, diobjektivikasi dan disepahamkan. Sebelumnya, musik hanya digunakan untuk dua kepentingan besar: religi dan hiburan. Seiring perkembangan media massa, musik pun menjadi ikut-ikutan massal. Ia diproduksi dalam piringan dan bit-bit data, disebarluaskan dan dibunyikan dimanapun tempat-tempat yang punya pemutar: mobil, mal, diskotik, bioskop, hingga ruang perkantoran.

Masifikasi memang selalu bertentangan dengan eksklusifitas. Yang massal menenggelamkan keunikan. Musik menjadi sesuatu yang "terlampau biasa". Dalam keseharian, kita bisa mendengarkan mulai dari Bach hingga Justin Bieber tanpa mampu difilter. Ia menubuh dalam gerak rutinitas kita dan terkadang bermukim dalam bawah sadar. Namun kemudian hal itu bukan sesuatu yang buruk. Karena dengan berpadunya musik dan keseharian, artinya ada musik-musik tertentu, bagi individu tertentu, yang begitu lekat dengan hari-harinya. Saya ingat betul masa-masa SMP dan SMA adalah masa dimana Metallica adalah musik pertama yang harus didengarkan sewaktu bangun tidur, dan musik terakhir yang wajib disetel sebelum terlelap. Saya juga tidak bisa begitu saja mengejek lagu-lagu request dari pengantin yang rata-rata seputar From this Moment, I Finally Found Someone, atau Lucky. Karena bagi individu-individu tersebut, barangkali sang lagu punya nilai sejarah yang tak bisa diobjektivikasi dengan cara apapun. Ia berharga tinggi karena sejarahnya itu sendiri. Seperti halnya kaos sepakbola saya yang bernomor punggung 19 waktu SMP. Masih saya simpan dan meskipun kelak saya masuk tim AC Milan, saya tidak akan sekali-kali membuangnya.

Fenomenologi Husserl pada akhirnya berupaya keras meruntuhkan sekat subjek-objek yang telah mendominasi dunia ilmiah Barat sejak era Cartesian. Ia berusaha mengembalikan segala sesuatu pada keseharian, "yang benar adalah yang dekat". Ia berusaha mengritisi bahwa upaya penyepahaman adalah upaya yang sia-sia karena patut kita curigai bahwa ada klaim kekuasaan disana.

Sehingga para pengikut sekte edisi Playlist, tak perlu khawatir kelak ada upaya penyepahaman dari kami. Sesungguhnya musik yang kalian bawa adalah bagaikan baju piyama yang kalian pakai sebelum ke peraduan. Ia milik pribadi, ia bagian dari darah daging kalian sendiri. Datanglah hanya untuk menunjukkan inilah piyama saya yang lusuh. Terserah kalian mau meniru coraknya, mencontoh modelnya, atau bahkan mengatai kotor tentangnya, yang penting piyama ini berarti bagi saya.

Comments

  1. Rif, di KlabKlassik bahas musik industri dong.. kayaknya seru tuh..

    ReplyDelete
  2. 8 Mei ini masih kosong, Nia. Lagi diobrolin nih bagusnya apa.

    ReplyDelete
  3. mantap, fenomenologi musik..contoh yg tepat sasaran :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...