Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Fondasi

"Aku berkemah disini, berdemonstrasi, agar anak cucu saya menikmati kedamaian. Jauh dari tiran."

Kalimat di atas adalah terjemahan bebas saya dari wawancara stasiun televisi Al-Jazeera dengan seorang demonstran ketika revolusi Tunisia. Revolusi yang berlangsung selama 28 hari di akhir tahun 2010 tersebut sukses mencapai tujuannya yaitu menurunkan presiden Ben Ali dari jabatannya. Saya tertegun dengan ucapan demonstran tersebut, membawa saya pada pertanyaan penting: Masih berhargakah hidup kita sekarang, jika kita tak tahu bahwa akan ada penerus di masa datang? Masih relevankah semboyan terkenal di era barok, memento mori, rebut hari ini, padahal bagi si demonstran yang terpenting adalah memenangkan sesuatu di masa depan?

Syahdan, ada masa dimana konsep-konsep besar rajin dibicarakan, atau Lyotard menyebutnya: metanarasi. Yakni ia yang disebut sebagai Keadilan, Kedamaian, Kesetaraan, Kebahagiaan, Kesejahteraan hingga yang paling abadi: Kebenaran (semuanya dengan K besar). Dunia hari ini menistakan konsep-konsep besar itu sebagai: konstruksi. Keadilan tidak ada yang universal, yang ada partikular, menurut kaum tertentu, menurut kekuasaan, menurut para pemenang. Demikian halnya dengan K besar yang lain.

Segala K besar itu, barangkali sesungguhnya hanya ada dalam angan-angan. Tuhan memilikinya di alam sana, dan memang bukan buat dibagi-bagikan. Tapi silakan bagi kalian yang punya keinginan kuat, untuk berlomba-lomba membuat menara agar sanggup menggapainya. Menara yang sanggup dekat, kata Tuhan, bukanlah ia yang bermewah-mewahan dengan jendela-jendela pemantul sinar sang surya. Melainkan menara yang dibangun atas fondasi darah, airmata, senjata, dan hati baja. Manusia asketis, mencapai nirwana dengan menyakiti tubuhnya. Atau si demonstran tadi, mencapai Keadilan dengan cara bersusah payah berkemah, bahkan terancam mati jika sudah berhadapan dengan tentara. Masih ingat Thích Quảng Đức? Seorang bhiksu Buddha yang membakar dirinya demi Keadilan di Vietnam Selatan, yang kala itu tergerus oleh kekuasaan Ngô Đình Diệm. Itu baru Keadilan, tak terhitung banyaknya korban yang mati bahagia akibat membela Kebenaran. Kita tak akan sanggup merengkuh semua K tersebut, yang mungkin adalah membangun fondasi kokoh dan mendirikan menara yang agak-agak mendekatinya. Menara kerinduan.

Ada pertanyaan penting: kau mau kebahagiaan sekarang, atau menundanya hingga menjadi kebahagiaan yang lebih besar nantinya? Socrates, sang pemuja kebahagiaan sebagai etiket tertinggi manusia akan menjawab yang kedua. Tapi dengan gaya dialektika mari kita tambahkan pertanyaan: Kau mau menundanya, sampai kapan? Si demonstran akan menjawab, hingga tiba anak cucuku nanti. Gibran menambahkan: Ketika kau yang di barisan depan terantuk batu, maka kau sesungguhnya memberitahu pada yang di belakang tentang bahaya di hadapan.

Aku merindukanmu, anak cucuku. Teruskanlah pembangunan menara ini hingga mencapai yang hakiki. Aku sudah membeton fondasinya, agar suatu hari menara ini cukup kuat untuk menopang teriakan Eureka-mu.


Thích Quảng Đức, difoto oleh Malcolm Browne. Diambil dari wikipedia.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k