Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps . NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...
What you get and what you see
Things that don't come easily
Feeling happy in my vein
Icicles are in my brain
(Black Sabbath - Snowblind)
Things that don't come easily
Feeling happy in my vein
Icicles are in my brain
(Black Sabbath - Snowblind)
Lirik itu, dan beberapa lirik sejenis, sekarang-sekarang tengah mewarnai kuping saya selama menyetir. Dulu saya cuma bisa dengar lagu macam itu di pemutar kaset atau paling banter laptop. Sekarang dengan fasilitas tape mobil yang bisa dicoloki USB, makin seringlah saya mendengar band-band favorit saya dari tahun 1970-an yang kebanyakan bergenre rock. Mereka bagi saya terdengar satu suara tentang satu hal: kebebasan.
Lirik Black Sabbath di atas tengah membicarakan kokain, barang haram paling halal di masa itu. Di era psikedelik dimana obat-obatan adalah sumber inspirasi paling jernih dalam berkarya, lirik-lirik pemujaan terhadap kokain, LSD, ataupun mariyuana adalah lumrah tercetus dari band-band masa itu. Ah, jangankan liriknya, sebetulnya ada yang menarik dari mendengarkan musik-musik mereka. Betul-betul, beberapa diantaranya sanggup mengajak saya tripping: Pergi ke suatu masa, entah kemana, yang pasti saya tak berjalan tapi melayang.
Ini perasaan subjektif memang, tapi saya merasakan betul kala mendengarkan misalnya lagu The Doors yang judulnya Crystal Ship. Suara parau Jim Morrison dari awal masuk verse lagu pun sudah kuat sekali melemparkan saya pada sebuah tempat teduh, tenang, dan tidak nyata. Seperti tengah bermain-main dengan gelembung busa sabun yang ditiupkan dari, kadang setan, kadang Tuhan. Ini efek yang sama kala saya mendengarkan Strawberry Fields Forever-nya The Beatles, bagian awal Stairway to Heaven dari Led Zeppelin, atau The Great Gig in The Sky-nya Pink Floyd. Bahkan di lagu Pink Floyd yang saya coba putar di youtube, ada komentar menarik dari salah seorang penggemar: "When you die, this is what your soul hears as it leaves the body."

Jangan lupakan juga ketika band-band tersebut menghadirkan tempo tinggi. Sensasinya bagaikan saya hinggap di sebuah karavan. Mengemudi kencang dengan kacamata hitam dan rokok terselip di bibir. Saya gondrong, berbaju dengan corak tie dye, dan setiap hari bergumam tentang kebebasan sambil memandangi angkasa dan merentangkan tangan. Oh sungguh bumi yang saya pijak detik ini adalah eksistensi yang menyedihkan. Saya kemudian berlutut dan merintih, memohon kepada Jimi Hendrix untuk mengajakku ikut bersamanya, hidup dalam melodi-harmoni yang memabukkan. Pasca konser kami sama-sama menghantamkan bodi gitar pada ampli dan membakarnya hingga tinggal serpihan. Karena hidup persis demikian: Kau bangun, kau romantiskan dan manis-manisi, untuk kemudian ditinggal mati.
Lirik Black Sabbath di atas tengah membicarakan kokain, barang haram paling halal di masa itu. Di era psikedelik dimana obat-obatan adalah sumber inspirasi paling jernih dalam berkarya, lirik-lirik pemujaan terhadap kokain, LSD, ataupun mariyuana adalah lumrah tercetus dari band-band masa itu. Ah, jangankan liriknya, sebetulnya ada yang menarik dari mendengarkan musik-musik mereka. Betul-betul, beberapa diantaranya sanggup mengajak saya tripping: Pergi ke suatu masa, entah kemana, yang pasti saya tak berjalan tapi melayang.
Ini perasaan subjektif memang, tapi saya merasakan betul kala mendengarkan misalnya lagu The Doors yang judulnya Crystal Ship. Suara parau Jim Morrison dari awal masuk verse lagu pun sudah kuat sekali melemparkan saya pada sebuah tempat teduh, tenang, dan tidak nyata. Seperti tengah bermain-main dengan gelembung busa sabun yang ditiupkan dari, kadang setan, kadang Tuhan. Ini efek yang sama kala saya mendengarkan Strawberry Fields Forever-nya The Beatles, bagian awal Stairway to Heaven dari Led Zeppelin, atau The Great Gig in The Sky-nya Pink Floyd. Bahkan di lagu Pink Floyd yang saya coba putar di youtube, ada komentar menarik dari salah seorang penggemar: "When you die, this is what your soul hears as it leaves the body."

Jangan lupakan juga ketika band-band tersebut menghadirkan tempo tinggi. Sensasinya bagaikan saya hinggap di sebuah karavan. Mengemudi kencang dengan kacamata hitam dan rokok terselip di bibir. Saya gondrong, berbaju dengan corak tie dye, dan setiap hari bergumam tentang kebebasan sambil memandangi angkasa dan merentangkan tangan. Oh sungguh bumi yang saya pijak detik ini adalah eksistensi yang menyedihkan. Saya kemudian berlutut dan merintih, memohon kepada Jimi Hendrix untuk mengajakku ikut bersamanya, hidup dalam melodi-harmoni yang memabukkan. Pasca konser kami sama-sama menghantamkan bodi gitar pada ampli dan membakarnya hingga tinggal serpihan. Karena hidup persis demikian: Kau bangun, kau romantiskan dan manis-manisi, untuk kemudian ditinggal mati.
Saya puja kalian, anak-anak kandung dari kebebasan. Era ketika ekspresi batin terdalam yang kau gelorakan ternyata bisa bikin kau banyak uang, mabuk-mabukan, main wanita, dan terkenal hingga mati bunuh diri. Saya tak khawatir kalian masuk neraka akibat mati oleh obat-obatan. Karena sungguh kehidupan kalian adalah surga, surga kebebasan dan kemurnian pencarian jatidiri. Akan kuceritakan era hari ini, dimana kebebasan termakan oleh uang dan kekuasaan. Ketika lirik-lirik tak lagi mewakili eksistensi yang terdalam, melainkan cuma berharga ketika enak dikunyah di pasaran. Seperti kacang goreng, cepat dimakan untuk mengganjal tapi tidak mengenyangkan.
Gambar Jimi Hendrix diambil dari sini
Gambar Jimi Hendrix diambil dari sini
Comments
Post a Comment