(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Peluit berbunyi sesaat setelah Arif Suyono menyundul bola dan mengenai tangan bek Malaysia. Penalti! Wasit asal Australia menunjuk titik putih. Stadion meledak. Gembira karena konon penalti adalah separuh gol. Bagaimana tidak, gawang sebesar demikian hanya tinggal diceploskan dari dua belas meter saja. Kedudukan saat itu 0-0. Menit ke-17. Final leg kedua Piala AFF dimana Indonesia mesti menang dengan selisih empat gol, akibat di leg pertama kami ditundukkan Malaysia 3-0 di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur. O, coba tengok gelegak para suporter di sini: Di sekitar tempat saya berdiri. Mereka terlalu haus untuk diberi minum setetes air. Dahaga mereka ingin dipuaskan oleh anggur yang memabukkan. Dan anggur itu berjarak cukup jauh untuk diraih. Tapi kami bisa, kami sanggup. Semua optimis Indonesia mampu membalas kekalahan dengan jumlah gol yang lebih banyak sehingga mampu merengkuh trofi. Anggur yang memabukkan itu. Penalti, dalam hampir sebagian besar peristiwanya, sering disebut sebagai