Saya datang pagi-pagi buta, ke sebuah kafé di Jalan Burangrang. Mereka sedia sarapan pagi, buka pukul tujuh. Saya tamu paling awal, memesan bubur ayam dan teh. Saya memulai ritual para kafé-is, yakni membuka laptop, dan mengoneksikan ke internet. Sayang sekali, internet baru hadir pukul dua belas. Dan akhirnya saya ketik beberapa paragraf tesis saja tanpa usah online. Sarapan datang, dan saya menyantapnya. Pasca makan, saya coba pandangi sekeliling kafé, dan berpikir, apa gerangan yang menjadikan kafé begitu menarik? Interiornya, barangkali pengaruh. Musiknya, tenang, juga pengaruh. Makanannya enak, pasti juga pengaruh. Tapi saya bukan ahli kuliner atau feng shui. Saya tak akan bahas kafé dari sudut pandang itu.
Imajinasi saya melayang sejenak, jauh, ke Paris. Alkisah, di pojok kota itu terdapat kafé bernama Café de Flore. Sofanya merah, dengan gaya interior Art Deco. Bayangkan sejenak, dua orang duduk disana. Dua orang yang bagi kalian yang belajar filsafat, pasti hapal: Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir. Itulah dua filsuf besar dalam sejarah pemikiran Barat. Dari keduanya lahir tema eksistensialisme, yang sangat mempengaruhi Barat tahun 90-an. Tema besar yang lahir dari hasil obrolan sambil minum-minum. Dari hasil temu intensif di kafé.
Café de Flore barangkali tidak sebesar Ngopi Doeloe di Teuku Umar. Konon, harga makanannya juga sangat murah (memang salah satu yang membedakan kafé pada mulanya, adalah jenis makanannya yang relatif ringan, dan harganya yang jauh lebih murah dari restoran). Jika ada tudingan Sartre adalah filsuf borjuis, maka itu pastilah orang yang membayangkan Sartre ada di Ngopi Doeloe. Café de Flore tergolong sederhana, dan sama sekali tak mencirikan simbol kapitalisme.
Yang menarik adalah, "kafé sejati" adalah kafé yang mempertahankan identitas dasarnya sebagai penjual makanan ringan, seperti kopi atau roti kukus. Harganya juga relatif murah. Jika berasumsi restoran adalah penjual makanan berat, maka kafé adalah pelengkap di sela-selanya. Yang mau saya katakan adalah: Restoran identik dengan waktu produktif dan biologis-alamiah manusia, karena ia menyediakan makanan primer, yang digunakan untuk mengenyangkan manusia, membuat mereka tersambung untuk tetap hidup. Sedangkan dalam kafé, makanan ringan adalah identik dengan waktu senggang. Tidakkah kita semua ngemil ketika sudah yakin bahwa hidup kita telah tersambung oleh makanan primer? Makanan ringan pastilah pengisi sela-sela antara jam makan primer.
Jika demikian, maka saya akan berkata sesuatu tentang waktu senggang: Bahwa seluruh buah pemikiran besar, darimanapun itu, pastilah datang dari waktu senggang. Waktu luang, atau jeda sementara, atau apapun namanya. Yang pasti tidak datang dari waktu ketika bekerja atau sedang dalam produktivitas tinggi. Manusia adalah makhluk yang selalu berdimensi realitas dan idealitas. Ia bisa saja berpikir, merenung, mengabstraksi dunia, tapi kemudian ia tidak boleh terus-terusan seperti itu. Ia harus bekerja, berbuat, dan menyamakan diri dengan denyut semesta. Tapi bekerja saja juga akan menyebabkan dirinya mekanistik dan teralienasi. Ada kalanya ia mesti beristirahat, tidak hanya untuk jiwa raga, tapi beristirahat untuk mengambil jarak dari kesehariannya. Memaknai kembali apa yang ia lakukan selama ini, sebelum buyar lamunannya dan melebur kembali bersama rutinitas.
Kafé, bagi saya sekarang, setelah direnung-renung, ternyata memang tak lagi seideal Café de Flore era Sartre. Figur "kafé sejati" tempat menjual kopi, roti kukus, earl grey tea, dan berbagai simbol-simbol klasik makanan ringan yang melambangkan kesenggangan, menjadi agak lebur dan rusak, akibat percampurannya dengan simbol restoranisme, seperti lontong kari, sate, atau nasi goreng. Membuat kafé jadi tempat makan primer dan tidak lagi memfokuskan pada simbol-simbol kesenggangannya. Tak heran, fungsinya jadi sekedar tempat gathering dengan ya itu tadi, interior yang indah, musik yang tenang, serta makanan yang enak. Kafé barangkali masih punya unsur perangsang berpikir di waktu senggang. Tapi waktu senggang yang dimiliki pengunjung itu sendiri, dieksploitasi habis-habisan oleh sifat kapitalistik si kafé. Waktu senggang pengunjung terkonversi dengan cepat menjadi pundi-pundi uang yang masuk ke kantong pemilik kafé. Harga makanan dan minuman di kafé-kafé, memang seringkali lebih mahal dari restoran pada umumnya. Karena ya itu tadi, simbol waktu senggang yang tadinya menjadi kekuatan kafé, telah dijual dengan harga murah pada kapitalisme. Kapitalisme sebagai pemilik, kemudian mengubah label kafé menjadi gaya hidup, alih-alih waktu senggang. Inilah barangkali yang menjadi sumber kegandrungan pengunjung.
Tentu saja saya tidak bisa menyuruh kafé manapun mengembalikan makanannya menjadi seperti kafé-kafé masa silam, karena pastinya menyurutkan keuntungan mereka. Tapi jangan salahkan saya jika tak akan ada pemikir besar seperti Sartre dan De Beauvoir yang lahir dari Ngopi Doeloe.
sadis euy......
ReplyDeletemantap pisan tulisan nu ieu kang.
Hahaha.. Bahkan Academie Francaise terlahir dari kumpulan orang2yg melakukan "pemaknaan" di cafe. Saya yakin masih ada Sartre dan Beauvoir lainnya yang mencintai cafe sebagai tempat "menikmati jeda" alih2 sebagai gaya hidup metropolis yang (sepertinya) terlihat keren.
ReplyDeleteBtw, I like this one very much!
@ijal: nuhun ijaaal.. hayu ah ngobrol di kafe!
ReplyDelete@mon papillon: iya, sekarang juga sebenernya masih banyak upaya-upaya mengembalikan kafe menjadi ruang gathering yang melahirkan pemikiran-pemikiran progresif. Tapi masalahnya satu, kafe membatasi gerak pemikiran itu sendiri, karena kapitalisme menaikkan harganya. Orang mesti ke kafe setelah punya uang, bukan secepat ia punya ide dan ingin langsung mendiskusikannya.
Jadi ini sebaiknya dimana, Rif? Jika restoran hanya sekedar pemenuhan kebutuhan primer dan warteg terlalu bising dan kotor untuk berpikir?
ReplyDeletePasti; kl tidak ada uang ya tak usah ke cafe, langsung ke rumah teman diskusimu saja. That simple!
ReplyDeleteSaya yakin Sartre dan Beauvoir pun tak hanya datang ke cafe untuk berdiskusi, pasti ada hal lain di cafe yang mendukung mereka untuk "menikmati jeda". Setuju? ;) Untuk lebih meraba, coba tanya sama Bapak2yg suka nongkorong di warung kopi. (For me they are another face of Sartrean)
Mengenai harga, masih bertebaran cafe2yg menjual hidangan dengan harga sepadan. Mari hindari cafe2pujaan ABG masa kini, terutama yg ada dimall2! Hahaha..
@Nia: Jawabannya, tidak ada masa depan bagi manusia! hahaha.. Ga ketang, barangkali manusia juga semakin kreatif menciptakan ruang-ruang bagi kontemplasinya sendiri. Jawabannya bisa jadi, ruang-ruang diskusi alternatif seperti Tobucil atau Rumah Buku
ReplyDelete@Mon Papillon: Iya betul-betul, bapak2 yang ke warkop, mereka sebetulnya tidak sedang nongkrong gak jelas, tapi mereka mencari waktu senggang dan merefleksikan kehidupannya. Ngobrol ngalor ngidul? Iya, tapi setidaknya dengan demikian mereka terhindar dari alienasi dan mekanisme keseharian.
Kafe di mall dipikir-pikir, memang kontradiktif yah. Di tengah bangunan megah kapitalis, tersempil satu pojok kecil ruang untuk merenung. Sialnya, harganya pasti mahal kalau di mall.
Saya suka ke cafe, tapi tidak berdasarkan niat bertukar pemikiran. Saya ke sana untuk bertemu teman, bertukar kabar, mengisi perut, atau datang sendirian dan membunuh waktu. Saya suka cahaya remang, asap rokok, dan riuh rendah pembicaraan orang lain yang beradu dengan musik latar. Rasanya rileks.
ReplyDeleteAda kalanya ia mesti beristirahat, tidak hanya untuk jiwa raga, tapi beristirahat untuk mengambil jarak dari kesehariannya. Setuju...
ReplyDelete