Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

The Old Man and The Sea: Mahakarya tanpa Menggurui


"There isn't any symbolism. The sea is the sea. The old man is an old man. The boy is a boy and the fish is a fish. The shark are all sharks no better and no worse. All the symbolism that people say is shit. What goes beyond is what you see beyond when you know."

- Ernest Hemingway, 1952

Bagi orang yang rajin mempertentangkan interpretasi karena konon punya kandungan benar-salah, atau tepat-keliru, maka pernyataan Hemingway di atas sungguh melegakan. Kenyataannya, sang penulis sudah mengklaim bahwa buku ini tak dimaknai oleh dirinya. Ia cuma membuat sesuatu senyata mungkin, tanpa reduksi, tanpa multitafsir, dan kemudian pembaca dilepas sebebas-bebasnya untuk mencari makna dibalik ceritanya.

Alkisah seorang lelaki tua bernama Santiago, kerjanya melaut mencari ikan. Hanya saja malang tengah menimpanya, sudah 84 hari si kakek belum jua dapat ikan. Kala berlayar Santiago biasa didampingi Manolin, seorang bocah. Tapi di hari ke-85, ia memutuskan melaut sendiri saja. Manolin dipaksa tinggal bersama orangtuanya, atau kapal-kapal lain yang lebih beruntung.

Di laut, ia sukses menangkap ikan marlin besar dan katanya terbesar sepanjang hidupnya. Malang nian ikan marlin tangkapannya itu ternyata mencuri perhatian banyak ikan hiu yang lalu lalang di laut lepas. Para hiu muncul bergantian, hingga si kakek kehabisan senjata dan semakin sulit mengusirnya. Ikan marlin yang tadinya utuh, semakin koyak oleh terkaman hiu yang sukses mencuri segigit demi segigit. Hingga akhirnya Santiago sukses mencapai daratan dengan luka dan lelah yang amat sangat. Ikan marlin itu sudah tak utuh, tapi para nelayan sekampungnya tetap menghargai perjuangan si kakek. Apalagi ikan itu sangatlah besar. Santiago tak ambil pusing, ia hanya ingin istirahat dan tidur.

Tadinya saya agak malas menuliskan ringkasan cerita, tapi ketika ditulis, eh ternyata sederhana. Memang seperti itu saja ceritanya. Maaf-maaf bagi yang belum baca, tapi memang demikianlah adanya. Yang pasti kekuatannya, bagi saya, bukan dari ceritanya. Tapi dari detail serta gaya tutur yang kuat dan tajam.

Pertama, Hemingway menggunakan sudut pandang orang ketiga (Eye of God) sehingga sangat memudahkan ia menceritakan segala hingga kedalam-dalamnya. Kekuatan ini terasa kala Santiago yang sendirian di laut, mesti berdialog terus menerus dengan batinnya. Sudut pandang orang ketiga sukses mengeksplor kegundahan demi kegundahan Santiago disertai detail gerakan dan aktivitas apa yang sedang ia lakukan kala itu. Jangan lupakan juga penggambaran kondisi lautan dan alam sekitar yang dituturkan Hemingway dengan amat bening. Bahkan pertempurannya dengan hiu jauh dari kesan seru dan menegangkan. Hemingway menuliskannya secara elegan bagai adegan perang The Last Samurai dengan latar belakang musik Koto dan Shamisen.

Ada beberapa kalimat yang cukup dalam dan menarik sebetulnya, tapi barangkali mesti jeli karena sangat tersembunyi dalam paparan deskripsi nan detail ala Hemingway. Misalnya, ketika Santiago melihat suasana lautan dengan aktivitasnya, ia merasa bahwa "Tidak ada orang yang sendiri di tengah laut." Bagi saya kalimat itu punya nilai, meski entah Hemingway sengaja memberi sentuhan atau tidak. Atau yang agak kelihatan, "Manusia tidak bisa ditaklukkan. Mungkin bisa dihancurkan, tapi tidak bisa ditaklukkan." Kembali pada pernyataan Hemingway di atas, memang cukup melegakan di tengah kesulitan pembacanya menemukan makna di tengah belantara kekayaan daya tutur dan justru kesederhanaan cerita. Hemingway tidak gatal untuk memasukkan petuah-petuah secara vulgar di tengah ceritanya. Ia memilih mengalir saja, fokus pada tokoh dan alurnya, tanpa ada upaya menggurui.

Tapi jika terpaksa merumuskan makna, adakah itu bagi saya? Tentu saja ada. Salah satunya adalah nilai-nilai perjuangan si kakek yang begitu gigih mempertahankan bongkah demi bongkah daging ikan marlin dari serbuan ikan hiu. Ia tenang dan tak kehabisan akal meski tubuh penuh luka dan stok senjata hampir habis. Sang lelaki tua, meski punya sifat cuek dan keras kepala, tapi tetap sosok yang bijaksana bagi saya. Meski tak sevulgar kebijaksanaan Almustafa dalam Sang Nabi, Santiago bijak dalam artian, ia mau mendengarkan batinnya berkata apa. Dan itu dilakukannya dalam keadaan apapaun, termasuk kala terjepit, dikitari hiu yang mengancam nyawa. Santiago selalu tenang, dan selalu berdiskusi dengan kata hati sebelum berbuat apa-apa.

Dan dari pernyataan Hemingway di pembuka tulisan, saya memaknai ini: Jangan berpikir, tulis saja. Tulis saja.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...