(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Ide tulisan ini bukan ide baru. Saya terinspirasi dari tulisan Kang Ibing menjelang final Piala Dunia 1998 di Harian Umum Pikiran Rakyat, judulnya saya ingat: “Penantian yang berakhir dengan keueung (sunda: =sepi – red)”. Jadi waktu itu, tahun 1998, sedang musim krisis moneter di Indonesia. Piala Dunia sebagai pesta olahraga dunia, sukses menghibur masyarakat Indonesia yang tengah dililit krisis untuk sementara. Indikatornya, dimana-mana banyak terjadi nonton bareng, dan dengan hingar bingar diikuti pelbagai lapisan masyarakat. Tulisan Kang Ibing itu seolah menceritakan bahwa final Piala Dunia, yang waktu itu melibatkan Prancis melawan Brasil, adalah sesuatu yang dinantikan oleh sebagian besar manusia di dunia, khususnya di Indonesia. Tapi berakhirnya final adalah sekaligus juga kesedihan yang mendalam, karena Indonesia akan kembali dalam realitas krisis yang mencekam.
Setelah tahun 1998, Piala Dunia sudah bergulir tiga kali, tepatnya tahun 2002, 2006 dan sekarang 2010. Lagi-lagi perasaan itu tetap ada, dan saya yakin itu terasa bagi penonton Piala Dunia di negara miskin di manapun. Menjelang final, selalu ada perasaan takut jika peluit akhir dibunyikan dan piala telah diserahkan, kita semua akan kehilangan eskapis terbesar dalam sebulan terakhir: Sesuatu yang lebih jarang dari lebaran, sesuatu yang membuat jam tidur manusia Asia berbalik seketika, sesuatu yang membuat jantung berdetak setiap hari bagi mereka yang taruhan atau punya tim yang amat difavoritkan, serta sebuah gegap gempita dan histeria yang melarutkan masing-masing persona dalam lautan massa. Yang menonton Piala Dunia, tak selalu orang yang menyukai sepakbola, tapi mereka terpaksa ikut, karena ikut hanyut dalam demam global. Bagaikan mendadak harus menjadi shaleh karena kau berada di Makkah. Bagaikan seluruh manusia Eropa tenggelam dalam gelegak spirit Renaisans, dan asing rasanya melihat masih ada orang yang teosentrik.
Dan sekarang, eskapis terbesar itu akan segera pergi. Gongnya diawali dari gol Tshabalala, dan akhirnya kita belum tahu akan ditutup oleh gol siapa, dan siapa yang akan hadir di podium sana mengangkat trofi. Kita sudah sama-sama melewatkan ratusan gol dan drama getir dari panggung berwarna hijau itu. Dari mulai heroisme singkat Korut, tumbangnya duo finalis empat tahun lalu, insiden tangan Suarez, kegagalan penalti Cardozo, hingga akhirnya kita akan sama-sama melihat dua calon juara yang akan menorehkan nama negaranya di trofi untuk kali pertama. Habis terang benderang final yang akan ditonton milyaran manusia di seluruh dunia ini, kegelapan siap menyelimuti kita lagi: kembali ke realitas kesibukan manusia yang absurd dan tak berujung. Tapi jika atas dasar itu kemudian FIFA jadi menyelenggarakan Piala Dunia setahun sekali, maka alih-alih jadi solusi, yang demikian malah jadi sumber absurditas yang baru. Jadi empat tahun ini sudah pas sekali nampaknya. Empat kali kita bertemu lebaran dan empat kali itu kita berjuang menghapus dosa. Tapi setelah empat kali, ada satu momen kesempatan kita berganti agama untuk sementara. Agama sepakbola yang tak kalah mulia, karena ia sama-sama menyelamatkan dari krisis, kendati tak permanen. Tapi tidakkah agama kebanyakan juga demikian?
Comments
Post a Comment