(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Meski sudah sepuluh hari berlalu, euforia Piala Dunia kemarin bagi saya masih terasa. Kelanjutan euforia tersebut saya wujudkan dengan instalasi Football Manager (FM) 2010 di komputer (Catat: Saya nyaris shalat istikharah untuk memutuskan membeli game tersebut atau tidak. Terakhir saya memainkannya tahun 2007 dan 2008, kuliah saya terbengkalai dan nyaris gagal!). Saya belum pernah mencoba narkoba, tapi jika katanya itu bikin kecanduan, maka bolehlah saya bilang FM ini semacam narkoba. Isinya, bagi orang yang tak paham, sepertinya cuma berisi teks-teks dan bulatan-bulatan yang tak masuk akal. Tak masuk akal jika dikaitkan dengan adanya orang yang epilepsi karenanya, layar retak oleh sebab FM non-stop dinyalakan seminggu, hingga orang pacaran menjadi putus karenanya. Dan pemutusan itu disimbolisasikan dengan dihancurkannya CD FM oleh pihak wanita.
Saya tahu betul laknatnya efek FM. Maka dengan berhati-hati, saya install game tersebut di komputer kakak saya, agar saya cuma bisa memainkan di kala kakak saya pergi. Tapi alih-alih terhindar dari kecanduan, saya malah dipergoki kakak saya kala bermain FM, dan beliau mengatakan: "Syukurlah komputer saya kepake juga. Sok terusin." Dengan legalitas tersebut, kecanduan menjadi tak tertahankan.
Saya merenung-renung kemudian, kok bisa ya teks-teks begini saja menjadi candu? Jika Marx masih ada, pasti ia tak cuma melarang agama, tapi juga FM. Nalar filsafati saya mengejar: melayang sejenak pada ujaran Kierkegaard, "Siapakah aku? Dari manakah aku? Mau kemanakah aku? Mengapa aku dilahirkan? Dan mengapa kelahiranku tidak dibicarakan dahulu denganku?" Ini ungkapan eksistensial yang cukup terkenal, menggambarkan bahwa eksistensi manusia pada dasarnya menyedihkan, karena salah satunya: ia berada di dunia tanpa tedeng aling-aling. Begitu saja, kun fayakuun. Maka itu, jika saya bermain FM, pada dasarnya saya mempertanyakan eksistensi dasar saya (yang setuju dengan Kierkegaard: menyedihkan), sekaligus menginginkan semacam eksistensi yang lain. Seolah-olah jika eksistensiku bisa dibicarakan, maka aku memilih untuk menjadi pelatih bola.
Lalu teringat saya akan pernyataan keras Nietzsche, "Hakekat hidup adalah kehendak untuk berkuasa!" Saya sempat maju mundur memberikan dukungan atas kalimat tersebut, tapi ketika main FM, saya semakin mengarah pada setuju. Dalam artian, tidakkah FM merepresentasikan kehendak untuk berkuasa? Kapan lagi kau, hai para pecandu, punya kesempatan mengatur dengan seenaknya pemain sekaliber Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, atau Wayne Rooney, dan memecatnya kalau kau mau? Kapan lagi kau, jika kau pembenci MU, punya kesempatan mempermalukan MU di Old Trafford, jika bukan di ranah FM? Kapan lagi kau, yang begitu gatal dengan kekomplitan Barcelona, tapi lemah di penjaga gawang, untuk kemudian mengganti Victor Valdes dengan Gianluigi Buffon atau Petr Cech misalnya? Di dunia nyata, Barcelona nyaris tak mungkin mendepak Victor Valdes karena loyalitas dan lokalitasnya. Tapi di FM, persetan dengan semuanya, skill tak bagus silakan keluar. Punya uang mari boyong yang kompeten. Belum lagi FM punya save, reset, quit. Jika kalah, kau bisa mengulang kapanpun sesukamu hingga kau menang. Tidakkah dunia nyata tak punya itu? Tidakkah game sesungguhnya ikut menyadarkan kita bahwa eksistensi manusia sesungguhnya menyedihkan? Tengok betapa nikmatnya bagi kalian yang pernah bermain Grand Thief Auto San Andreas. Menghancurkan kota, mencuri mobil, menembak kepala orang, menikam polisi, rasanya ingin sekali dilakukan di jalanan kota Bandung. Tapi sekali lagi, eksistensi yang terlempar ini, memenjarakan kita.
Maka itu, wahai para pemain FM yang masih aktif, belilah Daniel Aquino. Karena cuma di FM ia jago, di kehidupan nyata ia tak eksis. Dan saya yakin, seorang Aquino yang asli, berperasaan sama seperti kita. Ia menikmati aksinya di FM, tapi sekaligus menyadari bahwa dirinya begitu menyedihkan.
tulisannya cerdas mas, rasanya bener banget, saya juga penggila fm soalnya, hahaha..
ReplyDelete