Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

Mendarahi Piala Dunia

 

Sejak partai puncak Euro 1996 di Inggris, saya menjadi sangat menyukai sepakbola. Final yang mempertemukan Jerman versus Rep. Ceko tersebut, sangat tertanggal di hati. Saya sampai ingat sebagian besar pemain yang main: Jerman formasi 3-5-2, ada kiper Andy Koepke, libero Mathias Sammer, bek Jurgen Koehler dan Stefan Reuter, pemain tengah Thomas Haessler, serta duet penyerang Jurgen Klinsmann dan Steffen Freund. Ada juga Rep. Ceko dengan formasi 3-6-1 saya ingat kiper Petr Kouba, bek Michel Hornak, kapten Radoslav Latal dan Jan Suchoparek, pemain tengah Pavel Nedved, Jiri Nemec, Patrik Berger, Karel Poborsky, serta penyerang tunggal Pavel Kuka. Ah, jadi pamer ingatan yah, tapi sungguh saya bahagia bisa mengingat semuanya. Saat itu saya kelas 6 SD dan saat menulis ini saya tak sedikitpun mengintip Wikipedia atau situs UEFA.

Sejak itu, saya tak mau sedikitpun melewatkan momen-momen dalam sepakbola, apalagi turnamen besar. Mesti nyangkut di hati, mesti terasa euforianya, terdarahi dalam nadi, bagaimanapun caranya. Di Piala Dunia 1998, saat itu saya 2 SMP, saya melakukan hal yang menurut pandangan saya sekarang, agak sinting. Saya mencatat statistik per pertandingan, semuanya, mulai dari tendangan penjuru, tendangan ke arah gawang, melenceng, peluang menit per menit, hingga persentase penguasaan pertandingan. Semua partai, tak ada satupun yang terlewat. Di akhir turnamen, statistik tersebut saya print dan bundel jadi semacam buku, dan dijual dua puluh ribu rupiah per eksemplar. Alhamdulillah ada yang beli dua orang. Sekarang data-data itu sudah hilang, karena cuma diabadikan dalam floopy disk, dan komputer yang saya pakai jaman itu entah sudah kemana. Sepertinya rusak.

Piala Dunia 2002, tadinya saya menabung, ingin nonton mumpung di wilayah Asia. Tapi tak tercapai entah kenapa, sepertinya karena saya kurang sungguh-sungguh. Bagaimana mendarahinya? Ada dua cara, mendukung Italia favoritku sepenuh hati (jangan ditiru, ini syirik dan bid'ah: ketika menonton Italia, saya sering shalat tahajjud dulu sebelumnya, dan kemudian mengalungkan bendera Italia di leher, meski itu nonton sendiri di rumah) serta cara satu lagi yang juga jangan ditiru biarpun asyik, yakni dengan cara berjudi. Kala itu saya berjudi cuma di babak penyisihan, dan untungnya lumayan, cukup banyak untuk saya yang masih SMA. Tapi kelucuan euforia saya masih terjaga dengan mengkliping momen-momen Piala Dunia yang didapat dari koran BOLA.

Piala Dunia 2006, judi semakin menjadi. Saya semakin menyukainya, dan menganggap itu penting, karena apa? Karena negara kita tidak pernah dan tidak akan lolos ke Piala Dunia. Jadinya kita bingung mau dukung siapa mau bela siapa? Jadi buatlah permainan, belalah yang kita pegang dalam perjudian. Dari situ kita akan terlibat secara emosional dengan para pemain di atas lapangan. Tengok saja, jika suatu hari nanti di kehidupan entah kapan, Indonesia lolos ke Piala Dunia, maka niscaya perjudian soal Piala Dunia akan menurun drastis di Indonesia. Karena masyarakat tahu ada yang dibela dan didukung di sana, dengan darah dan air mata yang murni tak dibuat-buat. Sebagai tambahan, Piala Dunia 2006, agar semakin mendarahi, saya beli video VHS, dan merekam banyak partai penting.

Masuklah kita ke Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Sebentar lagi, lima hari lagi. Niat saya berhenti judi cukup kuat (mungkin bisa luluh di partai-partai puncak), karena aduh malu, sudah punya rejeki halal hehehe. Tapi saya tetap akan berusaha menyimpan momen tersebut dalam kenangan perjalanan hidup saya. Dengan cara apa? Hmmm saya baru kepikiran, saya akan buat prediksi dan hasil menerawang, tentang siapa yang menang di tiap partai, lolos penyisihan, hingga juara, dan sepertinya akan ditulis di note Facebook hehehe. Mendarahikah? Tentu saja, ini menyenangkan dan mengundang saya berpikir keras setiap hari. Tidak penting? Siapa bilang bersiul itu penting, tapi itu cara untuk menikmati hidup bukan?

Maka simpan filsafat, simpan agama, dalam sebuah laci rapat di kamarmu. Sepakbola tak butuh keduanya, karena seperti halnya Tuhan menciptakan filsafat dan agama yang Ia ridhai, Ia pun menciptakan sepakbola.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat