(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Mari akan kuceritakan sebuah malam. Malam dimana langit dan gemintang seperti biasanya menaungimu, tapi yang sekarang mereka lebih terang dari biasanya. Malam itu kami ada di pinggiran kolam renang. Kolam renang yang membentang dan membunyikan kecipak kecil tanda ia tersisir angin. Mari akan kuceritakan sebuah malam. Malam dimana denting gitar akustik menghidupkan kursi dan meja yang tadinya mati. Malam dimana denting gitar akustik menghidupkan denting sendok garpu yang tadinya tak lebih dari gemerincing pengganggu telinga.
Ini malam, malam panjang, sayang. Malam yang sama-sama dua belas jam, tapi hati ini tidur di bawah naungannya selamanya. Ini kisah kenisah tentang dua orang yang sedang tidak punya uang, tapi berada di restoran mewah untuk yang satu meminang satu lagi. Ini kisah kenisah tentang dua orang yang tidak punya apa-apa untuk kemudian akhirnya bergerak dari kursinya untuk meraih satu dua asa yang tergantung di hadapan. Ini kisah kenisah tentang lingkaran kecil di jari yang menandai cinta abadi. Cinta yang abadi bukan cinta yang sempurna, tapi ia hadir selama kehidupan masih terbentang. Ia berdiri ketika yang lain mati. Ketika jasad juga mati.
Ini malam ketika kami makan pizza gratis, minum teh gratis, dan kuingat kau mengeluh badanmu yang sakit. Tapi ini mahal, sayang, karena tidak ada cinta yang gratis. Cinta adalah bagaimana kau sanggup tawar menawar dengan tuhanmu. Karena ia maha pembalik hati manusia.
Hari ini hatimu sedang berbalik, menuju hal yang lebih baik. Aku disini mengingatkan tentang malam itu, ketika hatimu sedang juga baik. Mengingatkan tentang betapa dua insan pernah meminjam malam, langit, gemintang dan desir kolam, dari tuhan. Untuk sebentar, untuk sementara, untuk dikembalikan jua. Ya Tuhan, ijinkan kami meminjam itu lagi. Sewanya berapa, katakan saja, karena aku tak punya uang. Sudikah Tuan dibayar dengan hati yang busuk dan berdosa?
Comments
Post a Comment