(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Piala Dunia 2010 sudah hampir mencapai puncak. Selama tiga minggu ke belakang, even tersebut telah menyuguhkan banyak hal. Banyak hal yang sesungguhnya sebuah drama yang berulang, misalnya: gagalnya tim-tim unggulan, melempemnya pemain yang hebat di klub, berpacunya tim kuda hitam di jalur juara, hingga munculnya bintang-bintang baru. Keempat itu selalu muncul di edisi kejuaraan sepakbola -atau olahraga- manapun. Itu yang bikin menarik, itu yang bikin Piala Dunia masih ditonton entah hingga kapan. Ada memang perentilan menarik di kejuaraan Afrika Selatan ini, misalnya tiupan terompet vuvuzela yang mengalahkan tradisi yel-yel penonton, ataupun bola Jabulani yang begitu memusingkan para kiper dan pengumpan lambung. Tapi dari sekian banyak, saya mengingat satu hal dalam benak. Bukan redupnya Rooney, bukan kehebatan permainan Nippon, bukan pula kiprah Korea Utara, ataupun buruknya Ronaldo. Saya mengingat satu, seorang Argentina bernama Martin Palermo.
Sedari sekitar SMP, kala orde baru masih rajin menayangkan Dunia Dalam Berita secara teratur pukul 21.00, saya selalu ingat pria berjambul kuning itu. Ya, Martin Palermo nyaris selalu disebut minimal seminggu sekali. Entah kenapa, dalam sesi berita olahraga, Dunia Dalam Berita rajin sekali menampilkan Liga Argentina. Dan disana, El Loco (Si Gila, julukan Palermo) selalu ditampilkan wajahnya karena hampir selalu mencetak gol untuk kesebelasannya, Boca Juniors. Dari situ saya jadi pengagum instan Palermo. Karena memang yang saya lihat cuma cuplikan gol-golnya saja, jadi saya berpikir dia pemain yang hebat. Tapi saya sungguh tak tahu, bahwa barisan penyerang nasional Argentina begitu disesaki pemain berkelas, sehingga Palermo jarang sekali terpanggil. Bagi saya waktu itu, Palermo adalah pemain hebat, masa Argentina tak meliriknya.
Tapi kemudian saya juga ingat, kala Argentina ditukangi Marcelo Bielsa, Palermo mulai tampil mengenakan kostum Albiceleste. Itu sekitar pasca Piala Dunia 1998. Artinya, Palermo memang tak pernah ikut Piala Dunia. Dalam karir singkat tim nasionalnya, tak banyak yang bisa ia berikan. Ia malah masuk Guinness Book of World Records dengan tercatat sebagai pemain yang paling banyak gagal penalti dalam satu pertandingan. Yakni tiga kali ketika melawan Kolombia di Copa America 1999, dan Argentina kalah 0-3. Banyak koran di Argentina menulis, "Kolombia 3 Palermo 0". Sejak itu karirnya redup. Tak pernah lagi berkarir di timnas, dan di level klub pun tak lagi istimewa. Ia pernah beberapa kali main di klub Spanyol, tapi berpindah-pindah karena cedera. Lahirnya bintang semisal Hernan Crespo, Claudio Lopez, Javier Saviola, Carlos Tevez, Lionel Messi dan Gonzalo Higuain di level timnas semakin memupus asanya tampil di level internasional.
Sedari sekitar SMP, kala orde baru masih rajin menayangkan Dunia Dalam Berita secara teratur pukul 21.00, saya selalu ingat pria berjambul kuning itu. Ya, Martin Palermo nyaris selalu disebut minimal seminggu sekali. Entah kenapa, dalam sesi berita olahraga, Dunia Dalam Berita rajin sekali menampilkan Liga Argentina. Dan disana, El Loco (Si Gila, julukan Palermo) selalu ditampilkan wajahnya karena hampir selalu mencetak gol untuk kesebelasannya, Boca Juniors. Dari situ saya jadi pengagum instan Palermo. Karena memang yang saya lihat cuma cuplikan gol-golnya saja, jadi saya berpikir dia pemain yang hebat. Tapi saya sungguh tak tahu, bahwa barisan penyerang nasional Argentina begitu disesaki pemain berkelas, sehingga Palermo jarang sekali terpanggil. Bagi saya waktu itu, Palermo adalah pemain hebat, masa Argentina tak meliriknya.
Tapi kemudian saya juga ingat, kala Argentina ditukangi Marcelo Bielsa, Palermo mulai tampil mengenakan kostum Albiceleste. Itu sekitar pasca Piala Dunia 1998. Artinya, Palermo memang tak pernah ikut Piala Dunia. Dalam karir singkat tim nasionalnya, tak banyak yang bisa ia berikan. Ia malah masuk Guinness Book of World Records dengan tercatat sebagai pemain yang paling banyak gagal penalti dalam satu pertandingan. Yakni tiga kali ketika melawan Kolombia di Copa America 1999, dan Argentina kalah 0-3. Banyak koran di Argentina menulis, "Kolombia 3 Palermo 0". Sejak itu karirnya redup. Tak pernah lagi berkarir di timnas, dan di level klub pun tak lagi istimewa. Ia pernah beberapa kali main di klub Spanyol, tapi berpindah-pindah karena cedera. Lahirnya bintang semisal Hernan Crespo, Claudio Lopez, Javier Saviola, Carlos Tevez, Lionel Messi dan Gonzalo Higuain di level timnas semakin memupus asanya tampil di level internasional.
Pelatih Argentina untuk Piala Dunia 2010, Diego Maradona, entah dirasuki setan apa yang membuat ia ingin memanggil Saint Palermo. Jika bicara prestasi, Palermo tentu saja kalah cemerlang dengan striker-striker lain yang berlaga gagah di Eropa, sedangkan ia masih bermain di klub kampung halamannya, Boca Juniors. Pun dari segi usia, ia sudah 36, dan tengah bersiap mencari momen untuk menutup karir. Kalau boleh curiga, mungkin ini akibat kedekatannya dengan El Diego yang sama-sama "beragama" Boca Juniors. Maklumlah, di Argentina, seorang pemain klub Boca Juniors begitu fanatik membela sesamanya, terutama jika menyangkut duel rival versus River Plate. Haram hukumnya saling berpindah kostum diantara keduanya, meski sempat ada beberapa kasus. Tak cuma sama-sama pernah berseragam Boca, tapi El Diego juga pernah bermain bersama Palermo muda, barangkali nepotisme itu yang membawa El Loco ke Piala Dunia.
Palermo tak jadi pongah atas pemanggilannya. Ia sadar diri bahwa ia tengah dikelilingi striker-striker jagoan yang sedang dalam masa keemasannya. Ia tak berharap bisa tampil kecuali ada kejadian luar biasa ketika striker andalan mendadak cedera semua. Palermo hanya seorang tua yang jadi pelengkap agar pemain total jadi dua puluh tiga. Ia akan jadi kawan latihan yang baik bagi skuadnya yang tengah haus pencapaian. Ia akan jadi pengayom skuad muda jika melampaui batas. Palermo duduk manis di bangku cadangan, menikmati udara Afrika dan menyaksikan kawan-kawan muda berjibaku di lapangan menghadapi Yunani di partai ketiga, sebelum ia mendengar Maradona berbincang bersama kedua asistennya: "Pelatih, saya sarankan kita tampilkan El Pipita menjelang pertandingan berakhir," ujar salah seorang asisten, mengacu pada julukan Gonzalo Higuain. "Ide bagus, tapi untuk apa? Higuain lebih baik kita simpan," tanpa menunggu jawaban asisten, ia melanjutkan pernyataannya sendiri, "Palermo, kau main. Saya tak punya instruksi khusus. Bermainlah dan tuntaskan perlawanan mereka." Hari itu tanggal 23 Juni 2010, dan Palermo akan menjejakkan kaki di Piala Dunia pertama dan mungkin terakhirnya. Ia masuk, dan kemudian perjudian Maradona berhasil. Saint Palermo mencetak satu gol dalam penampilannya yang cuma sepuluh menit, Argentina menang 2-0.
Martin Palermo mungkin tak akan pernah dimainkan lagi di sisa laga Argentina di Piala Dunia ini. Ia kemarin dimainkan melawan Yunani, karena posisi Argentina yang sudah aman. Babak berikutnya akan sangat menentukan, dan seluruh dunia pasti setuju bahwa lebih baik memainkan Messi dan kawan-kawan seusianya jika mereka sedang fit. Jika memang benar demikian, maka El Loco telah memanfaatkan dengan baik satu-satunya laga yang ia jalani dalam Piala Dunia sepanjang karirnya. Sepanjang hidupnya. Ia mencetak gol, dan dengan gairah yang membuih ia merayakannya, lalu berpeluk mesra dengan El Diego. Ia merasa kembali muda, seperti kala Dunia Dalam Berita tengah rajin-rajinnya menayangkan aksinya. Ketika seseorang gagal di kesempatan pertama, itu biasa. Selalu ada kesempatan kedua untuk melunasi semuanya. Tapi kesempatan kedua selalu punya dua sisi. Yang satu menghadirkan pesona yang terlalu menyilaukan sehingga orang jadi jumawa dan malah terpuruk, seperti halnya Marcelo Lippi kala menukangi Italia kembali, atau Fabio Cannavaro yang urung pensiun di masa tua. Yang satu lagi menawarkan ancaman bahwa tidak ada lagi kesempatan ketiga, sehingga seperti kata Chairil Anwar: "Sekali berarti. Sudah itu mati." Dan El Loco tahu itu.
Comments
Post a Comment