Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Filsafat itu..

Saya lupa kapan mulai berkenalan dengan filsafat. Tapi resminya, boleh dibilang ketika saya mengikuti extension course filsafat di tahun 2006. Kegiatan rutin tiap Jumat malam di Jl. Nias itu, pelan tapi pasti, mengubah cara pandang saya. Saya ingat, awal mula materi di extension course itu, adalah soal antropologi manusia. Saya berkenalan diantaranya dengan pemikiran Nietzsche, Marleau-Ponty dan Lacan soal manusia ini sebenarnya apa, dari mana, mau ke mana? Apakah makhluk yang sudah selesai, atau sedang dalam proses? Lantas, apakah yang dinamakan hubungan sesama manusia itu? Lalu, bagaimana manusia mendefinisikan baik-buruk? Ketuhanan? Macam-macam lah pokoknya, membuat saya kebingungan dan keluar ruangan dalam perasaan yang aneh. Perasaan yang, ternyata, one way ticket: Tidak bisa pulang kembali ke kenyamanan yang dulu. Melainkan mesti mengarungi, terus menerus, bergulat dengan gelisah, hingga entah kapan.

Demikian awal mula filsafat ambil bagian dalam hidup saya. Mulailah dibeli buku-buku yang berkaitan dengannya. Saya ingat buku favorit saya sampai sekarang, Dari Socrates ke Sartre oleh T.Z. Lavine. Meski demikian, tak bisa, ternyata bagi saya, membaca satu atau dua buku saja untuk memahami satu pemikiran filsuf sekalipun. Mesti beberapa, mesti kadangkala buka internet juga, lalu mestipula sesekali mengaplikasikannya dalam pelbagai diskusi. Kadang, pemahaman terbaik ada ketika berbicara, alih-alih mendengarkan.

Efek filsafat, cukup klise: keimanan dogmatis yang ditanamkan sejak kanak-kanak, luntur perlahan; menjadi senang berdebat dan berdiskusi, seolah-olah semua orang mesti senang mempertanyakan hingga ke dasar-dasar, tidak ada yang boleh naif; menjadi galau setiap saat, karena sering mengaitkan segala peristiwa terhadap kategori-kategori filsafat beserta alirannya; menjadi kritis dalam segala hal, merusak segala tatanan, meski seringkali lupa membangun apapun diatas puing-puingnya. "Tuhan telah mati!" demikian Nietzsche bersabda. "Eksistensi mendahului esensi," Sartre berkata. "Jika Allah tidak ada, semuanya boleh," ujar Dostoyevski. "Para filsuf hanya berbicara tentang dunia, bukan mengubahnya," oh, itu kata Marx. "Hidup yang tidak dikaji, tidak layak dihidupi," ujar Socrates. Demikian seterusnya, petikan-petikan kalimat keren, mempesona, dan tampak beradab, mewarnai hidup saya.

Hingga suatu ketika, yang saya lupa tepatnya kenapa, yakni pada saat tersadari: bahwa ada titik, dimana hati lelah, mengikuti nalar yang terus menjelajah. Nalar ini, sialannya, ibarat kita makan keripik cabe: satu-satunya cara menghilangkan pedasnya, adalah dengan memakannya kembali. Nalar tak punya kepuasan. Ia mencari, mengusik, merobek, hingga menukik, kemanapun dan apapun. Saya tiba-tiba ingat kata Kierkegaard, "Nalar justru mesti digunakan hingga mentok, sehingga kita tahu keterbatasannya."

Ya, ternyata, Kierkegaard, tidak ada yang namanya batas itu sebenarnya. Hanya saja, kita selama ini terjebak bahwa filsafat adalah soal pemenuhan kepuasan nalariah. Pikiran yang terus bertanya, dan kemudian dijawab kembali oleh kekuatan pikiran jua. Ini agak terinspirasi dari makalah Bambang Sugiharto, bahwa jangan-jangan, filsafat itu, punya fungsi memuaskan perasaan juga, hati juga. Setiap kita mempertanyakan apa-apa, maka selalu berangkat dari kegelisahan perasaan. Dan ketika kita dapat menjawabnya, setidaknya untuk sementara, maka ketentraman itu terasa juga. Dan ketika nalar itu seperti tak kenal lelah menerjang apa-apa, maka hati, ternyata punya bensinnya sendiri. Ia seperti berkata pada nalar, "Sudahlah, sayang, aku sudah mendapatkan apa yang kau cari. Bahkan sebelum kau berangkat mencari. Aku mendampingimu selama ini, hanya semata-mata mengawasi engkau agar tak tersesat di labirin realita yang sesungguhnya tak menyuguhkan jalan keluar apa-apa."

Lantas, untuk apa filsafat itu? Jika perjalanan nalar pada akhirnya akan dihentikan oleh bisikan hati? Filsafat, bagi saya, adalah sekedar memahami, bahwa tidak ada kebenaran itu sebenarnya. Yang ada, barangkali, mengutip perkataan ayah saya: "Kebenaran, adalah tentang pencarian kebenaran itu sendiri." Filsafat, lewat daya jelajah nalarnya, merupakan cara untuk meyakini bahwa kita, manusia, pada dasarnya turun ke dunia sebagai pengembara. Dan Tuhan, jika boleh saya bilang Tuhan, ternyata tidak ada di ujung mana-mana. Ia ada di tas yang sedang kau jinjing.





Gambar : The Thinker - Auguste Rodin
Sumber Gambar : http://www.southdacola.com/blog/wp-content/uploads/2009/04/rodin20thinker.jpg

Comments

  1. Filsafat itu..

    adalah dimana gue harus deal dengan pertanyaan anak2 di sekolah dasar:

    "Bu, kenapa semut jalan berbaris?"
    "Balon itu terbangnya ke surga ya?"

    ReplyDelete
  2. @Nia: Betul sekali, dan orang dewasa kemudian menganggap filsafat sebagai kajian yang berat dan serius. Padahal filsafat justru sangat kekanak-kanakan.. hehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...