Efek filsafat, cukup klise: keimanan dogmatis yang ditanamkan sejak kanak-kanak, luntur perlahan; menjadi senang berdebat dan berdiskusi, seolah-olah semua orang mesti senang mempertanyakan hingga ke dasar-dasar, tidak ada yang boleh naif; menjadi galau setiap saat, karena sering mengaitkan segala peristiwa terhadap kategori-kategori filsafat beserta alirannya; menjadi kritis dalam segala hal, merusak segala tatanan, meski seringkali lupa membangun apapun diatas puing-puingnya. "Tuhan telah mati!" demikian Nietzsche bersabda. "Eksistensi mendahului esensi," Sartre berkata. "Jika Allah tidak ada, semuanya boleh," ujar Dostoyevski. "Para filsuf hanya berbicara tentang dunia, bukan mengubahnya," oh, itu kata Marx. "Hidup yang tidak dikaji, tidak layak dihidupi," ujar Socrates. Demikian seterusnya, petikan-petikan kalimat keren, mempesona, dan tampak beradab, mewarnai hidup saya.
Hingga suatu ketika, yang saya lupa tepatnya kenapa, yakni pada saat tersadari: bahwa ada titik, dimana hati lelah, mengikuti nalar yang terus menjelajah. Nalar ini, sialannya, ibarat kita makan keripik cabe: satu-satunya cara menghilangkan pedasnya, adalah dengan memakannya kembali. Nalar tak punya kepuasan. Ia mencari, mengusik, merobek, hingga menukik, kemanapun dan apapun. Saya tiba-tiba ingat kata Kierkegaard, "Nalar justru mesti digunakan hingga mentok, sehingga kita tahu keterbatasannya."
Ya, ternyata, Kierkegaard, tidak ada yang namanya batas itu sebenarnya. Hanya saja, kita selama ini terjebak bahwa filsafat adalah soal pemenuhan kepuasan nalariah. Pikiran yang terus bertanya, dan kemudian dijawab kembali oleh kekuatan pikiran jua. Ini agak terinspirasi dari makalah Bambang Sugiharto, bahwa jangan-jangan, filsafat itu, punya fungsi memuaskan perasaan juga, hati juga. Setiap kita mempertanyakan apa-apa, maka selalu berangkat dari kegelisahan perasaan. Dan ketika kita dapat menjawabnya, setidaknya untuk sementara, maka ketentraman itu terasa juga. Dan ketika nalar itu seperti tak kenal lelah menerjang apa-apa, maka hati, ternyata punya bensinnya sendiri. Ia seperti berkata pada nalar, "Sudahlah, sayang, aku sudah mendapatkan apa yang kau cari. Bahkan sebelum kau berangkat mencari. Aku mendampingimu selama ini, hanya semata-mata mengawasi engkau agar tak tersesat di labirin realita yang sesungguhnya tak menyuguhkan jalan keluar apa-apa."
Lantas, untuk apa filsafat itu? Jika perjalanan nalar pada akhirnya akan dihentikan oleh bisikan hati? Filsafat, bagi saya, adalah sekedar memahami, bahwa tidak ada kebenaran itu sebenarnya. Yang ada, barangkali, mengutip perkataan ayah saya: "Kebenaran, adalah tentang pencarian kebenaran itu sendiri." Filsafat, lewat daya jelajah nalarnya, merupakan cara untuk meyakini bahwa kita, manusia, pada dasarnya turun ke dunia sebagai pengembara. Dan Tuhan, jika boleh saya bilang Tuhan, ternyata tidak ada di ujung mana-mana. Ia ada di tas yang sedang kau jinjing.
Gambar : The Thinker - Auguste Rodin
Sumber Gambar : http://www.southdacola.com/blog/wp-content/uploads/2009/04/rodin20thinker.jpg
Filsafat itu..
ReplyDeleteadalah dimana gue harus deal dengan pertanyaan anak2 di sekolah dasar:
"Bu, kenapa semut jalan berbaris?"
"Balon itu terbangnya ke surga ya?"
@Nia: Betul sekali, dan orang dewasa kemudian menganggap filsafat sebagai kajian yang berat dan serius. Padahal filsafat justru sangat kekanak-kanakan.. hehe
ReplyDelete