Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

Untuk 30 November 2009

Sudah lebih dari dua puluh hari sejak saya terakhir mengupdate blog ini. Jika ditanya alasannya kenapa, saya tidak tahu. Daripada saya cari-cari alasan padahal intinya cuma malas.
Artinya, saya melewatkan juga hari ulang tahun saya untuk dituliskan. Maksudnya, dituliskan secara berdekatan dengan momennya. Padahal, ulang tahun saya tahun ini, terasa sangat bermakna. Bermakna karena banyak hal, yang akan saya ceritakan:


Hari itu hari Senin, 30 November 2009. Hari yang artinya, bagi orangtua saya, itu adalah tanda: bahwa tepat dua puluh empat tahun lalu, saya lahir ke dunia. Lahir untuk entah apa, yang pasti awal mulanya, adalah untuk membahagiakan orangtua saya. Untuk meyakinkan sebenarnya mereka punya garis keturunan yang melanjutkan apa-apa yang pernah ia bangun dalam hidupnya. Yang lewat keturunan ini, seolah-olah orangtua saya disajikan, tentang nikmatnya menyaksikan rekaman ulang kejadian kehidupan.
Melanjutkan keturunan itu barangkali, memberi tahu dengan gamblang: bahwa, Subhanallah, hidup itu berputar adanya, hidup itu begitu-begitu saja. Dan oleh karena itu, kita, manusia, adalah satu-satunya pemberi dinamisasi: pemakna sejati. Dengan demikian kita punya perbedaan dari hewan, yang melanjutkan keturunan untuk semata-mata mempertahankan spesiesnya dari kepunahan. Secara lebih keren, melanjutkan keturunan adalah berarti memberi tahu secara lebih intim, bahwa kehidupan ini, seperti kata Yasraf Amir Piliang, adalah sebuah repetisi dinamis.
Hari itu hari Senin, 30 November 2009. Hari yang artinya, saya cukup diajarkan sejak kecil, bahwa bolehlah itu dianggap spesial setiap tahunnya. Waktu SD, itu adalah hari dimana saya mentraktir teman-teman nonton bioskop. Waktu SMP juga. Beda lagi masa SMA, saya biasa mentraktir makan, yang berlanjut hingga kuliah. Hari yang seolah orangtua saya mau memberitahu saya, bahwa kau, Nak, sudah dua puluh empat tahun lamanya di dunia ini. Dua puluh empat tahun lalu kau membahagiakan kami dengan kehadiran. Maka dua puluh empat tahun kemudian kau membahagiakan kami juga dengan kehadiran. Kehadiran yang sedari dulu nyata dan ada, tapi rasanya tumbuh dan berbeda. Seperti kau sirami bibit mawar di halaman, dan kau menyaksikannya tumbuh merekah berbunga, dengan duri-durinya. Kau pasti pernah punya bayangan tentang bagaimana seharusnya mawar ini menjadi nantinya. Tapi ketika mawar tersebut berbeda dari yang kau bayangkan, misalnya: kelopaknya terlipat sebagian, merahnya tak merona, wanginya tak semerbak, atau durinya terlalu tajam, tidakkah yang masih penting, adalah kenyataan bahwa bunga itu masih disana, memberitahu bahwa ia, setidaknya bagi si mawar, ia tumbuh normal dan baik-baik saja?
Hari itu 30 November 2009, dan saya mengadakan acara makan-makan. Sederhana saja di rumah. Saya ajak teman-teman, ada teman SMA, teman KlabKlassik, teman bermusik, dan teman pascasarjana. Semuanya berkumpul, meski tak membaur semua. Tapi saya berbahagia menyaksikan semua. Mereka, di hadapan saya, adalah bagaikan menyaksikan juga repetisi dinamis. Karena lagi-lagi mereka hadir, lagi-lagi, yang harusnya bosan tapi tidak. Tidak karena dimaknai, tidak karena mereka membuat saya ada. Ada berada bukan dalam makna eksistensial, tapi esensial. Membuat saya selalu punya alasan kenapa saya ingin tetap di dunia.
Hari itu 30 November 2009 jam dua belas malam, dan saya sedang dalam jalur telepon. Berbincang. Mendengarkan suara nyanyian dari seberang sana, 180 kilometer katanya. Menyanyikan dendang yang, ah, metafor bidadari yang bernyanyi tak penting lagi. Persoalannya, kita tak pernah tahu apakah memang iya ada bidadari di kahyangan sana yang suaranya emas dan menggetarkan. Yang saya tahu pasti, ada bidadari disini, ya, aku menunjuk ulu hatiku. Dan iya, suaranya menggetarkan dawai-dawai batin yang pernah usang. Dawai-dawai batin yang resonansinya menggelegakkan darah di tubuh. Yang lagi-lagi saya suka metafor ini: seperti mawar yang ditetesi embun, seperti tenggakan dari anggur Dyonisus yang kemudian mengaliri kerongkongan. Yang membuat saya, sungguh-sungguh, mencintai dunia dan enggan meninggalkannya.


Joyeux Anniversaire,
Joyeux Anniversaire,
Joyeux Anniversaire,
Joyeux Anniversaire...

Comments

  1. Entah kenapa, gw merasa terinspirasi kalau baca tulisan2 lo, Rif. Hahaha. Selamat ulang tahun yang terlambat :D

    ReplyDelete
  2. "Mereka, di hadapan saya, adalah bagaikan menyaksikan juga repetisi dinamis. Karena lagi-lagi mereka hadir, lagi-lagi, yang harusnya bosan tapi tidak. Tidak karena dimaknai, tidak karena mereka membuat saya ada. Ada berada bukan dalam makna eksistensial, tapi esensial. Membuat saya selalu punya alasan kenapa saya ingin tetap di dunia."

    bagian ini keren banget om :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat