Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

Catatan Awal Tahun

Alhamdulillah, akhirnya tahun 2009 terlewati juga. Tahun yang bagi saya, salah satu yang berkesan. Berkesan dalam artian, di tahun ini, saya mendapatkan banyak pengalaman baru. Dan pemaknaan baru. Ada hal-hal yang dulunya saya tak paham, sekarang jadi paham. Atau entah saya merasa paham padahal sebenarnya belum, atau dari dulu sudah paham tapi sekarang tambah paham. Memangnya paham itu apa sih?

Yang pasti begini, apapun yang saya alami di tahun 2009 kemarin, ternyata sukses membuat saya sungguh-sungguh menatap 2010. Saya, untuk pertama kalinya, membuat daftar resolusi. Daftar resolusi yang bagi saya, terlampau rinci dan penuh perencanaan. Membuat tahun 2010 terasa dingin dan kaku, bagaikan angka-angka di microsoft excel. Membuat tahun 2010 terasa singkat dan padat, karena memang saya padatkan dalam perencanaan. Bukankah iya, segala perencanaan adalah seolah-olah menafikan bahwa hidup itu punya kejutan? Tidakkah jika Hume masih hidup, ia akan menertawakan daftar resolusi kita semua? Sambil berkata: "Bahkan kau tidak bisa menjawab apakah besok matahari masih terbit atau tidak."

Pertama, Alhamdulillah, Hume sudah lama tiada. Kedua, ini sepertinya klise, karena dulu prinsip saya tak begini. Ini baru-baru saja saya renungkan, dan rasanya naif sekali, bahwa: Coelho benar, bahwa jika kita sungguh-sungguh, alam semesta akan mendukung. Atau bahasa yang lebih religius: jika kita niat, maka akan terjadi. Kalau tidak terjadi? kurang niat namanya.

Saya kecewa sebenarnya mengatakan hal di atas. Rasanya percuma saja belakangan belajar filsafat serius, kalau ujung-ujungnya menyandarkan diri pada ungkapan klise yang berbau "iman". Tapi kekecewaan itu akhirnya berkurang sedikit-sedikit, ketika saya tahu, justru filsafatlah yang mengantarkan saya pada pemahaman lebih dalam terhadap ungkapan klise tersebut. Filsafat sukses meyakinkan seperti yang Kierkegaard bilang: "Nalar harus dipakai terus, agar kita tahu keterbatasannya". Dan wahai Kierkegaard, terlalu naif jika saya sudah mengatakan saya telah mencapai ujung nalar. Tapi bolehkah, sebagai manusia yang mana kebebasannya pun punya batas, saya menarik kesimpulan sementara, dengan melihat iman sebagai oase di tengah gurun. Untuk kemudian, sang nalar berhenti disana, minum air dan menggelar tenda. Sebelum melanjutkan perjalanan mencari batas entah dimana.

Tahun 2010, sudah siap saya tatap. Ditatap tak cukup, mestilah dihampiri dengan berani. Tahun yang menurut rencana saya, haruslah menjadi momen yang lebih baik untuk mengenal diri saya sendiri. Yang korelasinya mengarah pada apa yang kata Gibran: "Kenalilah dirimu, maka kau akan tahu siapa Ibumu". Ya, orangtua saya, yang belakangan saya berpikir mereka sebagai orang-orang yang sangat mulia, karena "menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk mencoba memahami anak yang secara tak adil tak pernah mencoba memahami orangtuanya". Tapi adakah bersitan dalam benak mereka, bahwa itu memang tak adil? Saya tak tahu perasaan mereka, tapi yang saya yakini: buat mereka, ini semua adil. Secara mengejutkan ini adil.

Maka itu, ya Allah. Berikanlah saya kekuatan di tahun 2010. Kekuatan untuk menjalani hidup yang, bukan benar ya Allah, tapi punya makna. Punya sesuatu yang bisa saya bagi untuk saya sendiri, orangtua saya, saudara saya, sahabat-sahabat saya, kekasih saya, dan orang lain. Karena saya, kita semua, berhutang pada semua manusia, seperti yang Gibran bilang.

Buatlah saya mengetahui banyak hal, hanya demi tujuan: bahwa nantinya saya jadi orang yang menyadari bahwa saya tak tahu apa-apa. Buatlah saya, ya Allah, menggunakan akal dan nalar, serta berbagai pertimbangan rasional dalam mempertimbangkan segala. Tapi di ujung keputusannya, tinggal hati nurani yang berbicara.

Buatlah saya, ya Allah, selalu disadarkan bahwa tak ada apapun yang saya terima ini kurang atau berlebihan. Karena segalanya cukup, hanya ketika saya bersyukur.

Buatlah saya, ya Allah, mencintai dunia ini. Bukan dalam rangka menafikan akhirat dan segala tetek bengek surgawi. Tapi karena sungguh, dunia ini menyimpan banyak keindahan dan misteri. Yang membuat saya sadar bahwa di dunia ini, ada surga itu sendiri.

Buatlah saya, ya Allah, sadar akan segala kesalahan. Dan memperbaikinya dalam tingkah laku perbuatan.

Buatlah saya, ya Allah, menyayangi kedua orangtua saya. Bukan semata-mata karena suatu hari barangkali saya jadi orangtua dan oleh karena itu saya takut hukum karma. Tapi karena, alasan apakah gerangan kita tidak menyayangi mereka?

Buatlah saya, ya Allah, berguna untuk dunia, berguna untuk semesta. Tidak harus dengan cara meluncurkan manusia ke Planet Venus atau memenangkan pemilu di Amerika atau menjadi aktivis Free Mason. Tapi dengan mencintai apa yang bisa dicintai dalam juluran tangan-tangan kecil yang saya punya. Dengan memberi apa yang bisa saya genggam dalam telapak tangan yang saya punya. Dan dengan berbuat lewat tubuh peluh yang kelak akan menua.

Buatlah saya, ya Allah, sering berdoa dan meminta kepadamu. Bukan karena saya tahu kau akan mengabulkannya. Tapi karena saya tahu, dengan berdoa, maka tak ada gunanya menganggap diri kita pusat semesta.

Buatlah saya, ya Allah, bertemu para personel Metallica. Karena sungguh, ya Allah, mereka keren.

Amin ya Rabbal Alamiin.
Selamat tahun baru semuanya. Selamat datang Januari: Janus si Muka Dua.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat