(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Garasi yang saya maksud disini, adalah garasi yang kau sebut dengan garasi juga. Bukan garasi yang memang sengaja kami bikin lebih luas, dengan dekorasi sana-sini, dengan lantai yang selalu bersih. Ini adalah garasi yang sebagaimana mestinya garasi: tempat menyimpan kendaraan, dan ukurannya hanya sedikit lebih luas dari kendaraan itu, dan pastilah lantainya hampir selalu kotor, tergilas ban yang membawa debu dan lumpur jalanan. Ini adalah garasi yang sama dengan yang kau maksud, yang menjadi ruangan kosong, jika mobil di dalamnya sedang digunakan oleh penghuni rumah.
Kau pasti tahu, bahwa setiap kegiatan punya tempatnya sendiri, ruangannya sendiri. Tempat memasak adalah dapur, tempat untuk tidur adalah kamar tidur, tempat makan adalah di restoran, tempat menyimpan lukisan di galeri, tempat menyaksikan musik adalah di gedung konser, tempat menyaksikan musik klasik adalah di gedung konser berakustik, tempat rapat adalah di meja yang melingkar, dan lain-lain yang stereotip. Tapi darimanakah asalnya korelasi kegiatan dan tempat itu? Tidakkah tadinya, coba kita berandai-andai, bahwa ada semacam ruangan kosong, dengan berbataskan tembok, lalu si pemilik berkata, “Ruangan ini kosong, mari kita isi dengan sesuatu.”
Demikian, barangkali, pada mulanya, semua adalah ruang kosong. Ketika si pemilik mencanangkan bahwa sebuah ruangan difungsikan, menjadi sesuatu yang bisa digunakan, maka seiring dengan waktu, tercipta “nama ruang”. Memberi nama, kata Saussure, adalah sekaligus membedakan. Memberi nama kamar tidur, adalah sekaligus membedakan ia dari kamar mandi, restoran, gedung konser, dan galeri. Membedakan berdasarkan nama, maupun maknanya. Seolah-olah dengan itu, maka kegiatan saling menukar fungsi ruang menjadi perilaku yang kurang etis.
Dalam konteks tertentu, memang seringkali ada kegiatan “lintas-fungsi ruang”, seperti dalam restoran, ada juga musik klasik. Dalam tempat tidur, ada juga lukisan yang disimpan. Bahkan dalam kamar mandi pun, kadang ada lukisan. Dalam bis, mal, dan bioskop, juga seringkali ada sesuatu yang secara “nama ruang”, tidak seharusnya. Memang kombinasi tersebut menghasilkan estetika yang sangat memuaskan indrawi. Dalam bis yang penat, oh ada musik. Dalam restoran yang hiruk pikuk, musik membuat hangat, pun lukisan. Hanya saja, kegiatan lintas fungsi-ruang kurang menghasilkan kedalaman, akibat dikikisnya fungsi “profesional” ruangan. Masih terasa berbeda, ketika menyaksikan konser musik klasik di gedung akustik, dengan menyaksikannya sambil makan di restoran. Ada penyampaian emosi yang berbeda: yang pertama lebih fokus, intim, dan detail, karena indra kita dipaksa terpaku kesana. Yang kedua, saling melengkapi dan memberi kehangatan, tapi sebatas sensasi saja, tidak membuat kita menemukan makna yang betul-betul mendalam.
Yang terjadi sekarang adalah, dalam ranah ruang publik, profesionalisme ini menemui persoalan. Ketika dunia informasi semakin cepat, padat, dan nirbatas, maka membiarkan satu ruang untuk satu kegiatan, adalah dianggap kuno dan ketinggalan. Apalagi, profesionalisme ruangan, telah bergeser pada komersialisasi ruangan. Karena profesional, satu, eksklusif, dan berbeda dari yang lainnya, maka kapitalisme memberi harga. Harga tinggi, kemudian mengikis makna. Efeknya, profesionalisme ruangan menjadi semacam gaya hidup. Menjadi semacam cara orang mengaktualisasikan dirinya dengan cara berbeda. Galeri misalnya, yang tadinya menjadi tempat orang lebih fokus untuk mengapresiasi lukisan, sekarang menjadi tempat berkumpul eksekutif muda untuk sekedar menunjukkan bahwa mereka juga punya citarasa seni. Tanpa harus betul-betul memahami lukisan di dalamnya. Pun gedung konser akustik, misalnya, menjadi tempat orang-orang yang sangat mengedepankan citra, ketimbang apa yang tersaji di dalamnya. Kemana orang-orang yang memang mau dengan dalam mengapresiasi? Bisa jadi mereka tersingkir, akibat harga, akibat eksklusivitas, akibat perasaan minder, karena merasa “salah tempat”.
Mereka-mereka ini, kemudian, mencari ruang kosong yang baru. Berjuang menemukan kembali makna dari musik, lukisan, makanan, dan kegiatan lainnya. Menemukan kembali hakikat dan substansi terdalam, bahwa jangan-jangan: bukan soal ruangnya, bukan. Tapi soal pemahaman terhadap isi ruangan, yang hanya bisa didapat barangkali, dengan menyingkirkan profesionalisme dan komersialisasi. Artinya: ruangan, dimana saja boleh, asal kosong. “Nama ruang” yang pernah dielu-elukan, tak lagi penting. Bahkan kecenderungannya, ruangan itu harus kecil dan sama sekali tidak menyimbolkan stereotip kapitalisme. Harus sesederhana mungkin, seperti secara langsung mengejek ruang publik yang semakin tak dekat dengan publik.
Disinilah, disini. Kembali ke garasi yang saya maksud, yang kau maksud juga. Bahwa di garasi rumah ini, adalah ruangan juga, ruangan yang kosong jika mobil tidak ada di dalamnya. Ketika itu kosong, maka bolehlah, bagi orang yang peduli, untuk berkegiatan mencari makna. Makna yang telah terkikis oleh eksklusivitas ruang. Silakan pajang lukisan, menggelar konser musik klasik, memasak bersama, berorasi, rapat, atau syukuran tumpengan. Sepertinya berkegiatan disini, kau tak akan merasa keren karena tempatnya, oh saya tidak sedang merendah: kecil dan kotor. Tapi disini, ya disini, setidaknya yang saya yakini, kau akan menemukan hangat dan lenturnya pencarian makna, karena tidak sedang ditunggangi serakahnya pencitraan, yang dingin dan kaku.
Kau pasti tahu, bahwa setiap kegiatan punya tempatnya sendiri, ruangannya sendiri. Tempat memasak adalah dapur, tempat untuk tidur adalah kamar tidur, tempat makan adalah di restoran, tempat menyimpan lukisan di galeri, tempat menyaksikan musik adalah di gedung konser, tempat menyaksikan musik klasik adalah di gedung konser berakustik, tempat rapat adalah di meja yang melingkar, dan lain-lain yang stereotip. Tapi darimanakah asalnya korelasi kegiatan dan tempat itu? Tidakkah tadinya, coba kita berandai-andai, bahwa ada semacam ruangan kosong, dengan berbataskan tembok, lalu si pemilik berkata, “Ruangan ini kosong, mari kita isi dengan sesuatu.”
Demikian, barangkali, pada mulanya, semua adalah ruang kosong. Ketika si pemilik mencanangkan bahwa sebuah ruangan difungsikan, menjadi sesuatu yang bisa digunakan, maka seiring dengan waktu, tercipta “nama ruang”. Memberi nama, kata Saussure, adalah sekaligus membedakan. Memberi nama kamar tidur, adalah sekaligus membedakan ia dari kamar mandi, restoran, gedung konser, dan galeri. Membedakan berdasarkan nama, maupun maknanya. Seolah-olah dengan itu, maka kegiatan saling menukar fungsi ruang menjadi perilaku yang kurang etis.
Dalam konteks tertentu, memang seringkali ada kegiatan “lintas-fungsi ruang”, seperti dalam restoran, ada juga musik klasik. Dalam tempat tidur, ada juga lukisan yang disimpan. Bahkan dalam kamar mandi pun, kadang ada lukisan. Dalam bis, mal, dan bioskop, juga seringkali ada sesuatu yang secara “nama ruang”, tidak seharusnya. Memang kombinasi tersebut menghasilkan estetika yang sangat memuaskan indrawi. Dalam bis yang penat, oh ada musik. Dalam restoran yang hiruk pikuk, musik membuat hangat, pun lukisan. Hanya saja, kegiatan lintas fungsi-ruang kurang menghasilkan kedalaman, akibat dikikisnya fungsi “profesional” ruangan. Masih terasa berbeda, ketika menyaksikan konser musik klasik di gedung akustik, dengan menyaksikannya sambil makan di restoran. Ada penyampaian emosi yang berbeda: yang pertama lebih fokus, intim, dan detail, karena indra kita dipaksa terpaku kesana. Yang kedua, saling melengkapi dan memberi kehangatan, tapi sebatas sensasi saja, tidak membuat kita menemukan makna yang betul-betul mendalam.
Yang terjadi sekarang adalah, dalam ranah ruang publik, profesionalisme ini menemui persoalan. Ketika dunia informasi semakin cepat, padat, dan nirbatas, maka membiarkan satu ruang untuk satu kegiatan, adalah dianggap kuno dan ketinggalan. Apalagi, profesionalisme ruangan, telah bergeser pada komersialisasi ruangan. Karena profesional, satu, eksklusif, dan berbeda dari yang lainnya, maka kapitalisme memberi harga. Harga tinggi, kemudian mengikis makna. Efeknya, profesionalisme ruangan menjadi semacam gaya hidup. Menjadi semacam cara orang mengaktualisasikan dirinya dengan cara berbeda. Galeri misalnya, yang tadinya menjadi tempat orang lebih fokus untuk mengapresiasi lukisan, sekarang menjadi tempat berkumpul eksekutif muda untuk sekedar menunjukkan bahwa mereka juga punya citarasa seni. Tanpa harus betul-betul memahami lukisan di dalamnya. Pun gedung konser akustik, misalnya, menjadi tempat orang-orang yang sangat mengedepankan citra, ketimbang apa yang tersaji di dalamnya. Kemana orang-orang yang memang mau dengan dalam mengapresiasi? Bisa jadi mereka tersingkir, akibat harga, akibat eksklusivitas, akibat perasaan minder, karena merasa “salah tempat”.
Mereka-mereka ini, kemudian, mencari ruang kosong yang baru. Berjuang menemukan kembali makna dari musik, lukisan, makanan, dan kegiatan lainnya. Menemukan kembali hakikat dan substansi terdalam, bahwa jangan-jangan: bukan soal ruangnya, bukan. Tapi soal pemahaman terhadap isi ruangan, yang hanya bisa didapat barangkali, dengan menyingkirkan profesionalisme dan komersialisasi. Artinya: ruangan, dimana saja boleh, asal kosong. “Nama ruang” yang pernah dielu-elukan, tak lagi penting. Bahkan kecenderungannya, ruangan itu harus kecil dan sama sekali tidak menyimbolkan stereotip kapitalisme. Harus sesederhana mungkin, seperti secara langsung mengejek ruang publik yang semakin tak dekat dengan publik.
Disinilah, disini. Kembali ke garasi yang saya maksud, yang kau maksud juga. Bahwa di garasi rumah ini, adalah ruangan juga, ruangan yang kosong jika mobil tidak ada di dalamnya. Ketika itu kosong, maka bolehlah, bagi orang yang peduli, untuk berkegiatan mencari makna. Makna yang telah terkikis oleh eksklusivitas ruang. Silakan pajang lukisan, menggelar konser musik klasik, memasak bersama, berorasi, rapat, atau syukuran tumpengan. Sepertinya berkegiatan disini, kau tak akan merasa keren karena tempatnya, oh saya tidak sedang merendah: kecil dan kotor. Tapi disini, ya disini, setidaknya yang saya yakini, kau akan menemukan hangat dan lenturnya pencarian makna, karena tidak sedang ditunggangi serakahnya pencitraan, yang dingin dan kaku.
Garasiku, 30 Agustus 2009: acara syukuran Resital Tiga Gitar Plus Satu
Ruang kosong yang baru? Misalnya garasi ini?
ReplyDeleteIya, bisa garasi ini, bisa garasi-garasi lainnya juga. Tobucil juga sepertinya tadinya garasi kan? Common Room juga. Memang garasi adalah salah satu bagian wilayah rumah yang cukup luas dan bisa dikosongkan kapan aja.
ReplyDeleteMungkin garasi di sini sifatnya sementara ya? Ketika kegiatan di dalamnya berkembang, muncul kebutuhan untuk memiliki ruangan baru yang lebih luas dan nyaman untuk semua orang yang terlibat di dalamnya. Kebutuhan ini nantinya dijawab oleh, istilah elu, profesionalisasi dan komersialisasi.
ReplyDeleteContoh: lingkaran penulis yg mana saya aktif di dalamnya. Dulunya lingkaran penulis ini bermarkas di Tobucil, pesertanya menempati kursi dan meja yang ala kadarnya. Tapi itu ga masalah karena yang terpenting adalah bisa latihan menulis dan berkumpul bersama dengan yang lain. Selain itu dulu di Tobucil, ada perasaan bangga karena sering nongkrong di sana. Perasaan bahwa saya merupakan bagian dari komunitas independen di Bandung (OMG! hahaha).
Sekarang kami pindah ke Reading Lights yang berAC, sofanya empuk, dan pilihan menu yang lumayan (enak+mahal). Lama-lama terbiasa juga. Ketika suatu hari sofa2 penuh dan kami dikondisikan berlatih menulis di ruangan kantor yang agak pengap dan berantakan di Reading Lights, peserta banyak yang protes. Saya jadi sadar kalau selama ini para pengunjung tetap lingkaran penulis itu tidak hanya datang untuk berkumpul dan menulis, tetapi juga untuk menikmati suasana toko buku Reading Lights. Mungkin ini juga bagian dari profesionalisasi?
Ini mungkin bagian dari apa yang gw bilang sebagai "lintas-fungsi ruang". Jadi mungkin tidak ada "ruangan khusus kegiatan tulis menulis", tapi cuma semacam ruangan kosong yang difungsikan. Persoalan kenyamanan dan tidak, itu urusan belakangan, garasi pun bisa dibuat nyaman kalo mau.
ReplyDeleteMungkin garasi bisa sifatnya sementara, karena terdesak misalnya. Tapi bisa saja itu permanen, dan jadi profesionalisme itu sendiri. Garasi mungkin lama-lama jadi identik sebagai ruang "kegiatan berkumpul". Yang berlaku bisa saja sebaliknya, keluar dari garasi, ke tempat yang lebih nyaman dan "profesional", ada beberapa yang justru malah kehilangan esensinya. KlabKlassik misalnya, gw tidak yakin kami bisa sebebas sekarang jika dilakukan di tempat eksklusif dan "nyaman". Kenyataan bahwa garasi adalah ruang kosong sekosong-kosongnya, memungkinkan kita untuk memaknai apapun fungsi di dalamnya. Tidak terikat apapun.