(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Ketika kau pernah nge-band, memainkan lagu-lagu seperti Nirvana dan Black Sabbath. Lalu belajar gitar elektrik hingga sedikit-sedikit bisa menirukan Jimi Hendrix dan Ritchie Blackmore. Lalu keseharianmu yang kau dengar adalah Metallica, plus memajang posternya di kamar, di samping foto Eric Clapton. Tidakkah memutuskan menggeluti gitar klasik adalah hal yang kurang keren? Siapakah tokoh gitar klasik yang saya tahu, kecuali guru saya sendiri, Kwartato Prawoto?
Tapi demikianlah, akhirnya saya terpanggil oleh entah apa. Untuk menekuni gitar klasik, ranah yang sepi dan sunyi ini, secara lebih serius. Sejak konser di Aula Barat, orangtua saya sepakat untuk membelikan gitar yang lebih bagus. Lebih layak untuk dimainkan di konser klasik yang sangat mengedepankan kesempurnaan dan kemurnian bunyi. Saya berlatih lebih serius, dan porsi belajar gitar elektrik semakin dikurangi.
Hingga tiba akhirnya, hari itu, dua tahun setelah konser di Aula Barat. Suatu bulan Oktober di tahun 2003, saya konser yang ketiga kali. Nama konsernya, kalau tidak salah, "Konser Gitar Klasik Kwartato Prawoto dan Murid-Muridnya". Namanya sama seperti konser saya yang kedua, tempatnya pun sama, yakni di Auditorium CCF. Bedanya adalah jumlah lagu, sebelumnya tiga sekarang tujuh, saya ingat: Tango en Skaii dari Roland Dyens, Valse Venezolano no. 2 dari Antonio Lauro, Prelude no. 1, 2, dan 4 karya Heitor Villa-Lobos, Requerdos de la Alhambra karya Francisco Tarrega, dan Cancion y Danza no. 1 dari Antonio Ruiz-Pipo. Semua konser, selalu bermakna bagi saya, tapi saya selalu menandai, konser mana yang menjadi titik balik. Inilah salah satunya.
Akan saya ceritakan bagaimana semuanya bermula: Kwartato Prawoto, saya melabelinya sebagai seorang resitalis. Kenapa? karena ya itu, obsesinya dalam bermain gitar klasik adalah untuk resital, untuk tampil dalam sebuah konser yang diapresiasi orang banyak dalam suasana klasikal yang amat serius. Ini sungguh, menjadi sumbangsih terbesar darinya bagi perjalanan pergitaran klasik saya berikutnya. Bukan semata-mata saya ingin jadi resitalis juga, tapi kenyataan bahwa saya berkembang menjadi seorang yang sangat menginginkan tampil di depan umum. Sumbangsih Pak Prawoto yang berharga tersebut, pada suatu ketika, saya nodai.
Dalam suatu kesempatan, beberapa bulan sebelum konser ketiga tersebut, saya disuruh tampil di acara kampus bernama INTREX (International Relations Expo). Saya diminta tampil dalam format solo. Di acara yang sama, ternyata tampil juga seorang solois gitar klasik, namanya saya ingat: Ivan Budihutama. Saya tertarik ketika tahu ada yang tampil dengan format yang mirip-mirip saya. Apalagi yang saya tahu, ia memainkan lagu berjudul Cancion y Danza no. 1, yang mana saya mainkan juga. Oh, tapi sungguh saya tak menyangka, bahwa ia akan begitu memukau. Saat memainkan bagian Danza, ia membuat seisi aula seolah ikut menari. Bagian yang saya tidak memainkannya seperti itu, tapi lebih gemulai dan melodius. Tapi firasat saya kuat, bahwa yang dimainkan Ivan itulah interpretasi yang seharusnya. Apa gerangan yang diajarkan oleh Pak Prawoto? Saat itu saya mulai ragu, dan akhirnya menyelidiki, darimana Ivan mendapatkan interpretasi macam itu. Ia kemudian menyebutkan nama gurunya, yakni Pak Ridwan. Ridwan Budiutama Tjiptahardja tepatnya, yang kemudian saya kontak ia. Setelah sepakat soal waktu dan harga, akhirnya saya pun resmi les privat kepadanya, beberapa bulan saja sebelum konser Oktober tersebut.
Dari sudut pandang saya sekarang, perbuatan tersebut kurang terpuji, karena saya punya dua guru sekaligus. Bukan soal itu, tapi kenyataan bahwa Pak Prawoto tidak mengetahui saya sedang les juga dengan Pak Ridwan. Pak Ridwan? tentu saja ia tahu bahwa saya tengah menyiapkan konser bersama Pak Prawoto. Secara profesional tentu saja sah, tapi secara etis, saya tahu itu tidak, terlebih setelah saya pun sekarang punya profesi sebagai pengajar. Tapi waktu itu saya, sebagai murid yang tengah bersemangat dan terobsesi, tak terlalu ambil pusing. Dampaknya, di tangan Pak Ridwan, saya mendapat banyak koreksi perihal lagu-lagu yang akan dikonserkan. Dampaknya lagi, lagu-lagu tersebut menjadi lebih berkualitas dan berbobot.
Dampaknya lagi, terasa ketika konser berlangsung. Pak Prawoto membawakan tiga belas lagu, semuanya karya J.S. Bach. Saya tujuh lagu, kesemuanya sudah dipoles Pak Ridwan selama kurang lebih dua bulan. Lalu entah kenapa, penampilan Pak Prawoto malam itu tak seperti biasanya. Ia banyak lupa not, mengulang dari awal, dan wajahnya merautkan ketegangan yang sangat. Kemudian, diantara permainannya yang underform, saya selalu muncul sebagai selingan. Waktu itu saya berumur tujuh belas, dengan semangat dan kepercayaan diri yang tinggi, saya merasa telah merebut aura penonton yang seharusnya menjadi milik guru saya sendiri. Saya tahu itu, karena suara riuh penonton dan hangatnya apresiasi, tak pernah bisa dipungkiri. Kau akan tahu penonton memperhatikanmu dengan baik, karena mereka mengirimimu energi. Pak Prawoto? Saya mendapati pemandangan memilukan: Setiap ia naik panggung, banyak penonton yang keluar ruangan.
Konser diakhiri dengan Pak Prawoto sebagai penutup. Sisa penonton saya lupa tepatnya, tapi di bawah sepuluh orang. Itupun beberapa diantaranya dari pihak keluarga saya, yang sudah mengenal Pak Prawoto dengan baik. Saat ini, jika mengingatnya, saya malu dan sedih. Tapi saat itu, tak ada perasaan lain selain bangga dan digjaya. Seolah memang itulah perasaan seharusnya jika kau telah mempermalukan gurumu di atas panggung. Ia adalah Pak Prawoto, yang waktu itu saya lupa, bahwa dialah yang telah membimbing saya selama empat setengah tahun. Sejak itu, saya diliputi perasaan bangga tak terkira. Dan belakangan barulah saya tahu, bahwa itu perbuatan yang memalukan dan tak pantas ditiru.
Sejak saya punya perasaan malu itu, hampir di setiap konser, saya selalu mendedikasikan lagu pertama untuk Pak Prawoto. Padahal saya tahu, ia tak pernah hadir ketika saya tampil. Suudzon-nya, saya bahkan berpikir bahwa ia sedang mengutuki saya. Sebagai murid maha durhaka yang tak tahu diuntung. Dulu dibina, sekarang kemana?
Sejak saya punya perasaan malu itu, hampir di setiap konser, saya selalu mendedikasikan lagu pertama untuk Pak Prawoto. Padahal saya tahu, ia tak pernah hadir ketika saya tampil. Suudzon-nya, saya bahkan berpikir bahwa ia sedang mengutuki saya. Sebagai murid maha durhaka yang tak tahu diuntung. Dulu dibina, sekarang kemana?
Pak Prawoto, maafkan saya. Kau adalah guruku, selalu, selamanya. Semoga Allah membalas jasa-jasamu. Saya sadar sekarang, bahwa segala hal adalah guru, hanya jika kita mau merendahkan hati. Perkataan sopir angkot dan literasi Sartre adalah sama-sama memberikan pengetahuan jika kau mau merendahkan hatimu. Saya malu ketika kerendahan hati saya sering sirna, dan tak ada lagi yang saya anggap guru, sama seperti kejadian di konser itu. Saya harap Bapak mau memaafkan saya, biarpun saya tahu Bapak ingin mengutuk saya jadi batu. Tapi apa daya Bapak bukan Ibuku.
sya pernah baca kalau dunia seorang gitaris klasik ialah proses mencapai segala virtuositas dan superioritas dalam gitar klasik...sepertinya motorik saja tidak cukup :)
ReplyDelete