(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Saya sudah melihat film ini sekira setahun yang lalu. Dan semalam saya menyaksikannya kembali di teve kabel. Oh, membuat saya ingat bahwa saya pernah menulis soal film tersebut di blog lama saya. Membuat saya ingin memindahkannya dari blog lama ke sini, untuk lalu diedit, dengan sudut pandang saya berdiri sekarang.
Melihat kuartet Carrie Bradshaw, Samantha Jones, Charlotte York, dan Miranda Hobbes, sulit dipungkiri bahwa kita juga sekaligus menyaksikan etalase fashion yang berkilau, budaya konsumerisme tak berujung, serta citra masyarakat New York yang hedonis dan teralienasi. Sama halnya dengan edisi serial, versi layar lebar ini masih mengedepankan identitas tersebut. Bedanya barangkali terletak pada upaya pengonklusian yang digambarkan lewat cerita pernikahan antara Carrie dan Big.
Keseluruhan film berdurasi sekitar dua jam lima belas menit ini (cukup panjang untuk ukuran film yang delapan puluh persennya berisi ngobrol-ngobrol), sebenarnya mengangkat isu yang tak pernah ketinggalan: cinta dan persahabatan. Hanya saja yang menarik bagi saya adalah tentang prosesi pencarian makna kedua isu tersebut, yang nampak begitu sulit diarungi jika berada di tengah lautan hedonisme dan konsumerisme ala kota besar. Ketika kota penuh hiruk pikuk seperti New York menyuguhkan suasana yang membuat manusia terasing dari dirinya, maka kuartet ini merupakan contoh manusia yang selalu bergulat dengan reflektivitas dan kontemplasi. Mereka berempat seolah paham bahwa citra permukaan yang ditawarkan New York berpotensi membunuh subjek, namun segala perlawanan dan pemaknaan itulah yang membuat film karya Michael Patrick King tersebut menjadi hidup. Yang kemudian menjadi pertanyaan saya berikutnya adalah: mengapa pernikahan mesti jadi semacam konklusi bagi gaya hidup mereka (dalam hal ini Carrie)? Tidakkah eksterioritas kota sebesar New York telah menawarkan segalanya yang dianggap mampu mewakili setiap aspek hidup manusia? Tidakkah justru kebebasanlah yang dicari kuartet tersebut, mengingat hasrat keempatnya yang tak pernah berhenti menagih? Saya kemudian curiga, jangan-jangan manusia bisa saja bosan dengan kebebasan, yang hakikatnya malah ia tak pernah berhenti diperjuangkan.
Pernikahan adalah tentang cinta, itu lumrah, tapi bisa saja hal tersebut adalah bentuk kelelahan manusia dalam mengarungi kompleksitas berpikir dan berbuat bebas, hingga akhirnya "terpaksa" mencari dahan untuk berpegang. Setidaknya dengan menikah, kebebasan itu sendiri berubah bentuk, menjadi terorientasi, menjadi tidak melulu tentang pemenuhan hasrat yang tiada habisnya. Karena barangkali (karena saya belum menikah), kebebasan tersebut naik kelas, menjadi semacam "kebebasan bagi yang lain", atau kebebasan demi nilai-nilai tertentu. Yang mendadak saya ingat tiga tahapan manusia menurut Kierkegaard. Yang pertama adalah manusia semacam Don Juan (Kierkegaard menyebutnya manusia estetis), yang melakukan apa-apa demi hasrat. Yang bisa diibaratkan seperti kuartet tersebut jika berada dalam kegemerlapan New York. Kedua, Kierkegaard namakan dengan manusia etis, dan ia mencontohkan layaknya Socrates. Hidup demi apa yang dinamakan tanggung jawab. Bisa saja tanggung jawab itu bukanlah hasrat pribadi, dan malah tertekan ketika kau menanggungnya. Tapi begitu kau hidup baginya, entah kenapa terasa lebih bermakna. Yang membuat saya jadi setuju dengan utilitarianisme: yang baik adalah yang berguna bagi orang banyak. Yang ketiga adalah manusia religius, dan saya tak akan membahas disini karena sepertinya kurang relevan.
Jikalau demikian, maka manusia etis ala Sex and The City yang digambarkan via cerita pernikahan Carrie dan Big dalam film ini sah-sah saja dijadikan konklusi. Karena menunjukkan bahwa mereka, meski dengan susah payah, tetap menyimpan keinginan untuk lepas dari jeratan hedonisme dengan caranya sendiri. Agar, ya itu, tak selamanya menjadi manusia estetis Kierkegaardian.
Keseluruhan film berdurasi sekitar dua jam lima belas menit ini (cukup panjang untuk ukuran film yang delapan puluh persennya berisi ngobrol-ngobrol), sebenarnya mengangkat isu yang tak pernah ketinggalan: cinta dan persahabatan. Hanya saja yang menarik bagi saya adalah tentang prosesi pencarian makna kedua isu tersebut, yang nampak begitu sulit diarungi jika berada di tengah lautan hedonisme dan konsumerisme ala kota besar. Ketika kota penuh hiruk pikuk seperti New York menyuguhkan suasana yang membuat manusia terasing dari dirinya, maka kuartet ini merupakan contoh manusia yang selalu bergulat dengan reflektivitas dan kontemplasi. Mereka berempat seolah paham bahwa citra permukaan yang ditawarkan New York berpotensi membunuh subjek, namun segala perlawanan dan pemaknaan itulah yang membuat film karya Michael Patrick King tersebut menjadi hidup. Yang kemudian menjadi pertanyaan saya berikutnya adalah: mengapa pernikahan mesti jadi semacam konklusi bagi gaya hidup mereka (dalam hal ini Carrie)? Tidakkah eksterioritas kota sebesar New York telah menawarkan segalanya yang dianggap mampu mewakili setiap aspek hidup manusia? Tidakkah justru kebebasanlah yang dicari kuartet tersebut, mengingat hasrat keempatnya yang tak pernah berhenti menagih? Saya kemudian curiga, jangan-jangan manusia bisa saja bosan dengan kebebasan, yang hakikatnya malah ia tak pernah berhenti diperjuangkan.
Pernikahan adalah tentang cinta, itu lumrah, tapi bisa saja hal tersebut adalah bentuk kelelahan manusia dalam mengarungi kompleksitas berpikir dan berbuat bebas, hingga akhirnya "terpaksa" mencari dahan untuk berpegang. Setidaknya dengan menikah, kebebasan itu sendiri berubah bentuk, menjadi terorientasi, menjadi tidak melulu tentang pemenuhan hasrat yang tiada habisnya. Karena barangkali (karena saya belum menikah), kebebasan tersebut naik kelas, menjadi semacam "kebebasan bagi yang lain", atau kebebasan demi nilai-nilai tertentu. Yang mendadak saya ingat tiga tahapan manusia menurut Kierkegaard. Yang pertama adalah manusia semacam Don Juan (Kierkegaard menyebutnya manusia estetis), yang melakukan apa-apa demi hasrat. Yang bisa diibaratkan seperti kuartet tersebut jika berada dalam kegemerlapan New York. Kedua, Kierkegaard namakan dengan manusia etis, dan ia mencontohkan layaknya Socrates. Hidup demi apa yang dinamakan tanggung jawab. Bisa saja tanggung jawab itu bukanlah hasrat pribadi, dan malah tertekan ketika kau menanggungnya. Tapi begitu kau hidup baginya, entah kenapa terasa lebih bermakna. Yang membuat saya jadi setuju dengan utilitarianisme: yang baik adalah yang berguna bagi orang banyak. Yang ketiga adalah manusia religius, dan saya tak akan membahas disini karena sepertinya kurang relevan.
Jikalau demikian, maka manusia etis ala Sex and The City yang digambarkan via cerita pernikahan Carrie dan Big dalam film ini sah-sah saja dijadikan konklusi. Karena menunjukkan bahwa mereka, meski dengan susah payah, tetap menyimpan keinginan untuk lepas dari jeratan hedonisme dengan caranya sendiri. Agar, ya itu, tak selamanya menjadi manusia estetis Kierkegaardian.
Sumber gambar: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Sex_and_the_City_The_Movie.jpg
Comments
Post a Comment