(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Ini kisah nyata. Pengalaman saya. Baru saja, sekira pukul 10.30 dialaminya. Sebelum bergegas mengajar, saya tentunya mestinya melewati pagar rumah. Seketika itu, di depan gerbang, lewatlah seorang anak perempuan, usianya sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Pakaiannya lusuh, pun tubuhnya. Ia membawa dua keresek besar berwarna hitam. Isinya apa entah tak kelihatan. Seketika ia datang menghampiri, bergumam apa tak jelas. Saya yang buru-buru, cepat-cepat berpikir bahwa ia anak yang minta shadaqah. Alah, biasa kan di kala mau lebaran. Anak-anak kecil sering keliling minta uang.
"Hui Cilembu-nya, A,"
"Apa? Hui?" saya bertanya balik.
"Iya, A, ini hui asli Cilembu. satu keresek lima ribu"
"Oh, oke oke sebentar," saya mengambil dompet di saku, mengintipnya, lalu melihat ada uang seratus tujuh puluh empat ribu. Karena saya pelit dan pecahan uangnya agak kurang enak, maka saya ambil si empat ribu. Saya sodorkan padanya, dan sadar uangnya kurang untuk beli satu keresek pun, maka saya bilang:
"Neng, ambil aja, hui-nya buat neng ya?"
Alih-alih senang, si anak malah terdiam lalu bilang:
"Empat ribu bisa buat tiga perempat keresek, A, saya ambilin ya?"
"Ga usah, neng, ambil aja yah uangnya, gak papa kok," ujar saya sambil masih memegang uang di tangan.
Si neng dengan cepat mengepak kereseknya, lalu berkata, "Pamit dulu ya, A."
Eh dia ngeloyor!
Saya kaget, "Neng, neng, tunggu sebentar, ini deh ini deh, saya beli dua-duanya, uangnya dua puluh ribu ya,"
"Saya ga ada kembalian, A,"
"Oh, gak papa, Neng, buat Neng aja kembaliannya. Tapi hui-nya tetep gakan saya ambil lagi ya? Buat neng jualan lagi aja."
"Saya gak mau, A. Aa, tetep harus ngambil hui-nya"
Waduh, jika kau menjadi saya. Sungguh sulit mengambil hui-nya. Kenapa? Karena di rumah saya belum tentu ada yang berminat, dan khawatir itu akan jadi mubazir. Saya sempat tertegun sejenak, sebelum ayah saya berseru dari pintu rumah, "De, ambil aja hui-nya." Ia memberi isyarat dengan mengatupkan mata perlahan sambil mengangguk, seolah berkata, "Ambil saja, dia akan lebih bahagia kalau kita mengambilnya." Oh, baiklah, akhirnya saya ambil itu dua keresek hitam yang bahkan saya belum lihat isinya. Si anak pergi sambil mengucap terima kasih. Saya tak menjawab karena tak bisa berhenti memandanginya.
Kau tahu, itu seperti pengalaman sepele. Tapi buat saya, maknanya banyak, barangkali setara Siddharta di Pohon Boddhi atau Muhammad di Gua Hira. Hehe. Saya jadi sadar, kesalahan pertama saya adalah: saya berprasangka negatif pada anak ini. Karena menyangka akan meminta shadaqah, saya lekas-lekas ingin menyelesaikan pertemuan tanpa mendengarkan ucapannya. Kau tahu lah, setiap dari kita mungkin punya kesadaran untuk berbagi harta, tapi kadang kita tak suka jika itu diminta. Kedua, saya pelit. Ia berjualan lima ribu, eh saya kasih empat ribu karena itu pecahan yang paling enak untuk 'dibuang'. Tapi ya itu, kepelitan saya juga berangkat dari keburukan prasangka. Karena saya pikir dia mau minta shadaqah, jadi alah, biar kelihatan berusaha, dia perhalus saja dengan berjualan. Yang mana entah terjual entah tidak, yang penting ia dapat uang.
Sambil menyetir menuju tempat tujuan, saya merenung takada habisnya. Saya kira anak tadi seorang agnostik. Tahu kenapa? ia tidak percaya bahwa lebaran adalah momen dimana Tuhan berbagi rejeki lewat belas kasihan. Ia hanya percaya, bahwa rejeki datang jika ia mau berusaha mencarinya. Itu tebakan ngasal sepertinya, tapi sebenarnya, rasa malu saya yang mendominasi. Kau tahu, ketika kau berpikir bahwa Tuhan mewahyukan dirinya lewat hal-hal hebat seperti Nabi, Rasul, Al-Quran, atau para ustadz yang rajin cari muka di televisi, ternyata saya mendapati hal yang lain sama sekali. Ia datang, berbicara sebagai anak yang menjual ubi: kecil, lusuh, tak berdaya, dan terbuka untuk ditindas siapa saja. Kau tahu, sungguh malu ketika siapa saja mereka yang status sosialnya ditinggikan, ternyata masih mau menerima uang tanpa mengeluarkan keringat, yang lantas membungkusnya dengan "rejeki Tuhan". Inilah ia, si anak penjual ubi Cilembu. Menyentuh kalbuku. Membuatku malu.
Neng, semoga kau menjadi presiden RI kelak nanti. Insya Allah negara ini akan jujur. Biarlah urusan gender jangan kau pikirkan.
"Hui Cilembu-nya, A,"
"Apa? Hui?" saya bertanya balik.
"Iya, A, ini hui asli Cilembu. satu keresek lima ribu"
"Oh, oke oke sebentar," saya mengambil dompet di saku, mengintipnya, lalu melihat ada uang seratus tujuh puluh empat ribu. Karena saya pelit dan pecahan uangnya agak kurang enak, maka saya ambil si empat ribu. Saya sodorkan padanya, dan sadar uangnya kurang untuk beli satu keresek pun, maka saya bilang:
"Neng, ambil aja, hui-nya buat neng ya?"
Alih-alih senang, si anak malah terdiam lalu bilang:
"Empat ribu bisa buat tiga perempat keresek, A, saya ambilin ya?"
"Ga usah, neng, ambil aja yah uangnya, gak papa kok," ujar saya sambil masih memegang uang di tangan.
Si neng dengan cepat mengepak kereseknya, lalu berkata, "Pamit dulu ya, A."
Eh dia ngeloyor!
Saya kaget, "Neng, neng, tunggu sebentar, ini deh ini deh, saya beli dua-duanya, uangnya dua puluh ribu ya,"
"Saya ga ada kembalian, A,"
"Oh, gak papa, Neng, buat Neng aja kembaliannya. Tapi hui-nya tetep gakan saya ambil lagi ya? Buat neng jualan lagi aja."
"Saya gak mau, A. Aa, tetep harus ngambil hui-nya"
Waduh, jika kau menjadi saya. Sungguh sulit mengambil hui-nya. Kenapa? Karena di rumah saya belum tentu ada yang berminat, dan khawatir itu akan jadi mubazir. Saya sempat tertegun sejenak, sebelum ayah saya berseru dari pintu rumah, "De, ambil aja hui-nya." Ia memberi isyarat dengan mengatupkan mata perlahan sambil mengangguk, seolah berkata, "Ambil saja, dia akan lebih bahagia kalau kita mengambilnya." Oh, baiklah, akhirnya saya ambil itu dua keresek hitam yang bahkan saya belum lihat isinya. Si anak pergi sambil mengucap terima kasih. Saya tak menjawab karena tak bisa berhenti memandanginya.
***
Kau tahu, itu seperti pengalaman sepele. Tapi buat saya, maknanya banyak, barangkali setara Siddharta di Pohon Boddhi atau Muhammad di Gua Hira. Hehe. Saya jadi sadar, kesalahan pertama saya adalah: saya berprasangka negatif pada anak ini. Karena menyangka akan meminta shadaqah, saya lekas-lekas ingin menyelesaikan pertemuan tanpa mendengarkan ucapannya. Kau tahu lah, setiap dari kita mungkin punya kesadaran untuk berbagi harta, tapi kadang kita tak suka jika itu diminta. Kedua, saya pelit. Ia berjualan lima ribu, eh saya kasih empat ribu karena itu pecahan yang paling enak untuk 'dibuang'. Tapi ya itu, kepelitan saya juga berangkat dari keburukan prasangka. Karena saya pikir dia mau minta shadaqah, jadi alah, biar kelihatan berusaha, dia perhalus saja dengan berjualan. Yang mana entah terjual entah tidak, yang penting ia dapat uang.
Sambil menyetir menuju tempat tujuan, saya merenung takada habisnya. Saya kira anak tadi seorang agnostik. Tahu kenapa? ia tidak percaya bahwa lebaran adalah momen dimana Tuhan berbagi rejeki lewat belas kasihan. Ia hanya percaya, bahwa rejeki datang jika ia mau berusaha mencarinya. Itu tebakan ngasal sepertinya, tapi sebenarnya, rasa malu saya yang mendominasi. Kau tahu, ketika kau berpikir bahwa Tuhan mewahyukan dirinya lewat hal-hal hebat seperti Nabi, Rasul, Al-Quran, atau para ustadz yang rajin cari muka di televisi, ternyata saya mendapati hal yang lain sama sekali. Ia datang, berbicara sebagai anak yang menjual ubi: kecil, lusuh, tak berdaya, dan terbuka untuk ditindas siapa saja. Kau tahu, sungguh malu ketika siapa saja mereka yang status sosialnya ditinggikan, ternyata masih mau menerima uang tanpa mengeluarkan keringat, yang lantas membungkusnya dengan "rejeki Tuhan". Inilah ia, si anak penjual ubi Cilembu. Menyentuh kalbuku. Membuatku malu.
Neng, semoga kau menjadi presiden RI kelak nanti. Insya Allah negara ini akan jujur. Biarlah urusan gender jangan kau pikirkan.
anak itu mengajarkan bagaimana menempatkan sesuatu pada haknya... kamu memberinya uang lima ribu, baginya hak kamu adalah mendapatkan sekeresek hui cilembu, dan dia tak ingin mengambil hak kamu itu.. perkara kamu mau sedekah sama dia itu perkara lain lagi, tapi yang menjadi penting dalam transaksi hui cilembu ini saling menghargai hak satu sama lain dan anak itu menurutku konsisten dengan kewajibannya memberikan hak itu setelah mau memberinya uang..
ReplyDeletedalam dunia orang dewasa yang seringkali tamak dan rakus, ga banyak contoh seperti yang dilakukan anak kecil itu..
Betul sekali mba Tarlen, rada tertegun saya sih tadi. Aneh, ketika musimnya anak-anak minta sedekah, ini ada yang dengan jujur berjualan, penuh pertimbangan hak dan kewajiban. Saya cuma mikir, orangtuanya barangkali hebat bisa mengajari anaknya jujur seperti ini.
ReplyDeleteterkadang kita mudah menilai sosok itu dari bungkusnya, kadang manusia tersiksa karena memikirkan penilaian orang atas dirinya..
ReplyDeletekisah yang menarik :)
alhamdulillah syarif. petunjuk bagi manusia datang bagi mereka yang Iqro-membaca petunjuk-Nya. segala sesuatu berjalan karena tangan Allah, sekecil apapun itu. semoga anak manis itu mendapatkan yang terbaik dalam hidup, amien.
ReplyDelete@Artcoholic: Nuhun. Iya memang, kata Konfusius, "Jangan pusing kalo orang lain tidak bisa memahami kita. Pusinglah kalo kita tidak mampu memahami orang lain".
ReplyDelete@Raden Prisya: Amiiiien. Terima kasih Raden, kau punya andil juga.
Izin Promo gan,,, http://firmanzurig.blogspot.com saya ASLI CILEMBU, hehehe...
ReplyDelete