(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Saya tidak akan seberapa skeptiknya pada agama, jika bukan pengalaman yang berbicara. Maksudnya, ajaran agama pastinya bagus dan baik. Hanya soal apakah itu benar tidaknya, ujung-ujungnya pengalaman yang jadi pegangan. Bahkan dalam situasi tertentu, bagus dan baik dalam agama toh bisa dipertanyakan juga.
Sepengalaman saya, saya pernah lumayan beragama, entah istilahnya tepat atau tidak, tapi pernahlah saya rajin semua-muanya urusan ritual. Oh ya, saya dibesarkan dalam tradisi agama Islam. Saya menemukan banyak ayat yang menyuruh kita untuk 'berpikir' dalam Al-Qur'an. Tapi kenyataannya, dalam konstruksi sosial yang dibangun di kita, berpikir kadang-kadang disama artikan dengan melawan iman. Artinya, gausah banyak mikir lah, terima saja.
Awalnya begini, kala itu saya masih SMP. Dalam pelajaran agama Islam, saya ingat sekali nama gurunya, sama dengan saya: Syarif. Saat itu beliau sedang mengajarkan topik tentang iman. Di akhir pelajaran, sang guru menawarkan: siapa mau bertanya? Ngacunglah saya, lantas bertanya: Pak Guru, jika orang non-Muslim berbuat baik, masuk nerakakah mereka? Pak Syarif menjawab dengan lantang dan yakin: Ya, mereka masuk neraka, mengapa? karena mereka tidak beriman pada Islam. Oh, Pak, bagaimana jika mereka tidak tahu? Mereka tetap masuk neraka, karena mereka tak mau mempelajari Islam.
Itu satu, yang bikin saya heran, dan mengguncang iman, hingga sekarang. Bagaimana bisa, seorang guru agama Islam, memutuskan siapa neraka siapa surga? Barangkali, hanya demi memuaskan jawaban muridnya? Oh, ternyata, guruku sayang, lebih banyak nantinya saya temui, orang dengan pikiran macam itu.
Lalu dua, kejadiannya dini hari, sekira empat tahun lalu. Kala itu kakak saya mendadak jerit-jerit tak karuan. Berguling-guling ia bagaikan diatas panggangan. Katanya, terkena angin duduk. Dan itu, menurutnya, seperti mau mati. Di tengah kepanikan seluruh keluarga, ibu saya pamit dan berkata, mama solat dulu ya. Oh, ibuku, kakakku nampak sekarat, dan kau mau solat? Jika ia mati ketika kau solat, masuk surgakah engkau, wahai ibuku sayang? Atau jika kau memohon kesembuhan kakakku via shalat, tidakkah Tuhan menyuruh untuk berusaha lantas berdoa?
Lalu ada tiga, empat, sepuluh, hingga tak terhingga kejadian, yang lantas membuatku mantap bertanya: agama, tidakkah membuat hidup ini kaku adanya? agama, bolehkah ajaran-ajarannya, kuambil saja mana yang kusuka? Dan tak usah mengimani semuanya karena tak semua klop dengan apa yang dialami. Agama, bolehkah kubilang, jika dalam situasi umati yang massal, persis seperti kumpulan orang sakit jiwa, yang mana dirinya selalu merasa wajar, padahal kerjaannya mencaci, mencemoohi, menyakiti, hingga melenyapkan orang-orang di luar kewajaran yang ditetapkan oleh dirinya? Agama, untuk apa narsisme-mu itu? Membanggakan yang esa, yang satu, padahal Tuhan bukan bilangan ataupun bisa dihitung. Tidakkah, banyak perang besar dengan jutaan korban jiwa, adalah atas dasar agama, yang mana berangkat dari angka satu itu? Agama, tidakkah Marx benar, bahwa ia adalah candu -bikin ketagihan padahal nirmanfaat-, atau Freud mengatakannya sebagai: ilusi infantil dan neurosis kolektif? Agama, kaukah panduan itu? Atau bolehkah jika Nietzsche jadi panutanku, atau Rumi atau Gibran? Toh, mereka sama-sama revolusioner dan dicela semasa hidupnya, persis seperti cerita nabi-nabimu kan? Atau malah, Yesus, Muhammad, dan Siddhartha yang kuagungkan, mungkinkah semua ini cuma pengalaman pribadimu semata, pengalaman spiritual yang setiap orang pun punya. Lantas murid-muridmu jadi kagum, dan berambisi melembagakan pengalaman kalian. Dibikinlah aturan-aturan dan penyeragaman, tak lupa disisipkan semuanya via kekuasaan raja-raja atau kolonialisme, biar keren diberi nama: A-GA-MA. Bisakah hidup tanpa agama, jika kita percaya Tuhan mewartakan dirinya lewat apa saja? Boleh musik, film, seks, pengetahuan, filsafat, dan ateisme sekalipun. Lantas -terinspirasi slogan Extension Course Filsafat-, Tuhan, beragamakah engkau? Kalau ya, agamamu apa?
Imagine there's no heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today
(Imagine - John Lennon)
"Tuhan pernah menciptakan sebuah batu yang sangat..sangat besar...sampai Tuhan sendiri-pun tidak sanggup untuk mengangkat batu itu.."
ReplyDeleteDalam konteks ke-Indonesia-an, agama menjadi seperti ini karena implementasi yang tidak tepat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mengapa demikian? Kita ini bukan negara agama, tapi bukan juga negara sekuler. Bukan Negara Agama, tapi ada Departemen Agama. Bukan Negara Agama, tapi ada kolom "agama" di KTP. Jadinya setengah-setengah. Banci. Munafik. Hipokrit.
ReplyDeleteApapun yang hipokrit tidak akan pernah bisa berhasil, karena kondisi itu hanya akan menutup satu hipokrisi dengan hipokrisi lainnya. Tak hanya sekedar hipokrisi, terorisme pun muncul dengan nama agama bahkan dikembangkan di pusat-pusat pendidikan agama tertentu.
Tapi ternyata, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Agama telah menjadi bentuk segregasi yang paling parah dalam sejarah umat manusia. Masyarakat Irlandia saling membunuh karena perbedaan Agama. Srebrenica Massacre pun terjadi karena hal yang sama. Belum lagi terhitung berbagai kasus di Asia Selatan, mulai dari Mumbai, Pakistan, Sri Lanka, dll.
Selama agama masih menyediakan "punishment and reward" dalam konsepsi "surga & neraka", lalu masih merasa dirinya sebagai eksklusif (menganggap yang lain kafir), entah sampai kapan kekacauan ini masih terus berlangsung.
Agama saya? huahaahah
jelema moal paham kana agama lamun teu paham kapangerana. sarta jelema moal paham kapangerana lamun teu paham kana dirina. Secara umum jelema beragama tuturut munding, atawa bisa jadi lantaran korban iklan. anu masing2 hayang ngarasa no wahid. Eta hiji kawajaran lantaran cara pandang manusa terbatas. teu aneh lamun ujung2na papaseaan, ngarsa aing pang alusna. eta panyakit manusa lain ajaran agama. Kejadian di atas itu wajar menurut uing, itu merupakan peroses dari sebuah perotes jiwa, untuk menemukan fitrah jelema.
ReplyDeleteAgama tidak ada yang salah, ada juga kekeliruan penganutnya.
yang salah jelasin guru agamanya kok yang disalahin agamanya
ReplyDeletemending sebelum komentar tentang agama pelajari dulu agamanya satu2 dengan detail
Agama tidak salah. Yang salah adalah persepsi orang tentang agama. atau mungkin terbalik? Agama tidak benar. Yang benar adalah persepsi orang tentang agama
ReplyDelete